Jumat, 04 Juli 2008

PERANAN KELUARGA DALAM MEBINA AKHLAK REMAJA

PERANAN KELUARGA DALAM MEMBINA AKHLAK REMAJA

Oleh : Ikeu Kania

ABSTRAK

Dalam psikologi perkembangan, Masa remaja (remaja awal dan remaja akhir) adalah masa yang penuh emosi, secara psikologis, masa ini ditandai dengan kondisi jiwa yang labil, tidak menentu dan biasanya susah mengendalikan diri sehingga pengaruh-pengaruh negatif seperti perilaku-perilaku menyimpang akibat dari pergeseran nilai mudah mempengaruhi jiwa remaja dan menimbulkan gejala baru berupa krisis akhlak.
Krisis akhlak yang melanda sebagian remaja saat ini, merupakan salah satu akibat dari perkembangan global dan kemajuan IPTEK yang tidak diimbangi dengan kemajuan moral akhlak. Perilaku remaja yang cenderung lekas marah, kurang hormat terhadap orang tua, bersikap kasar, kurang disiplin dalam beribadah, menjadi pemakai obat-obatan, terjerumus dalam perilaku sex bebas serta perilaku yang menyimpang lainnya telah melanda sebagian besar kalangan remaja.
Keluarga (terutama orang tua) sebagai orang terdekat merupakan faktor utama untuk membantu para remaja dalam menghadapi krisis akhlak sebagaimana yang dikemukakan di atas. Pendidikan akhlak berupa bimbingan, arahan, nasehat, disiplin yang berlandaskan nilai-nilai ajaran agama Islam harus senantiasa ditanamkan dan dikembangkan orang tua terhadap para remaja dalam kehidupan keluarga.

A. PENDAHULUAN

Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mempunyai peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan dan perilaku anak remaja. Kedudukan dan fungsi keluarga dalam kehidupan manusia bersifat fundamental karena pada hakekatnya keluarga merupakan wadah pembentukan watak dan akhlak.
39
Tempat perkembangan awal seorang anak sejak dilahirkan sampai proses pertumbuhan dan perkembangannya baik jasmani maupun rohani adalah lingkungan keluarga, oleh karena itu di dalam keluargalah dimulainya pembinaan nilai-nilai akhlak karimah ditanamkan bagi semua anggota keluarga termasuk terhadap remaja.
Masa remaja (terutama masa remaja awal) merupakan satu fase perkembangan manusia yang memiliki arti penting bagi kehidupan selanjutnya, karena kualitas kemanusiaannya di masa tua banyak ditentukan oleh caranya menata dan membawa dirinya dimasa muda. Perubahan yang dialami pada masa ini terjadi secara kodrati dan para ahli menyebutnya sebagai masa transisi (peralihan).
Masa peralihan yang terjadi pada remaja sangat membingungkan, dalam masa peralihan ini remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangannya, masa ini senantiasa diwarnai oleh konflik-konflik internal, cita-cita yang melambung, emosi yang tidak stabil serta mudah tersinggung. Oleh karena itu remaja membutuhkan bimbingan dan bantuan dari orang-orang terdekat seperti orang tuanya.
Peran dan tanggungjawab orang tua mendidik anak remaja dalam keluarga sangat dominan sebab di tangan orang tuanyalah baik dan buruknya akhlak remaja. Pendidikan dan pembinaan akhlak merupakan hal paling penting dan sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas hidup. Dalam ajaran agama Islam masalah akhlak mendapat perhatian yang sangat besar sebagaimana sabda Nabi ”Sempurnanya iman seorang mukmin adalah mempunyai akhlak yang bagus”. Dan dalam riwayat lain dikatakan ”Sesungguhnya yang dicintai olehku (Nabi Muhammad SAW) adalah mereka yang mempunyai akhlak yang bagus”.
Mengingat masalah akhlak adalah masalah yang penting seperti sabda Nabi di atas, maka dalam mendidik dan membina akhlak remaja orang tua dituntut untuk dapat berperan aktif karena masa remaja merupakan masa transisi yang kritis seperti dikemukakan oleh Hurlock (dalam istiwidayanti : 1992) bahwa masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa sehingga individu pada masa ini mengalami berbagai perubahan baik fisik, perilaku dan sikap sehingga perubahan ini patut diwaspadai.
Oleh karena itu peranan orang tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai akhlak karimah terhadap para remaja yang bersumberkan ajaran agama Islam sangat penting dilakukan agar para remaja dapat menghiasi hidupnya dengan akhlak yang baik sehingga para remaja dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan norma agama, norma hukum dan norma kesusilaan.

B. PERMASALAHAN AKHLAK REMAJA

Dewasa ini dengan terjadinya perkembangan global disegala bidang kehidupan selain mengindikasikan kemajuan umat manusia disatu pihak, juga mengindikasikan kemunduran akhlak di pihak lain. Di samping itu, era informasi yang berkembang pesat pada saat ini dengan segala dampak positif dan negatifnya telah mendorong adanya pergeseran nilai di kalangan remaja.
40
Kemajuan kebudayaan melalui pengembangan IPTEK oleh manusia yang tidak seimbang dengan kemajuan moral akhlak, telah memunculkan gejala baru berupa krisis akhlak terutama terjadi dikalangan remaja yang memiliki kondisi jiwa yang labil, penuh gejolak dan gelombang serta emosi yang meledak-ledak ini cenderung mengalami peningkatan karena mudah dipengaruhi.
Gejala akhlak remaja yang cenderung kurang hormat terhadap orang tua, melawan orang tua, terjerumus dalam perilaku sex bebas, kurang disiplin dalam beribadah, mudah terpengaruh aliran sesat, pendendam, menjadi pemakai obat-obatan, berkata tidak sopan, pendusta, tidak bertanggungjawab dan perilaku lainnya yang menyimpang telah melanda sebagian besar kalangan remaja.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sahabat Anak Remaja (Sahara) Indonesia Foundation pada Tahun 2007 sedikitnya ada 38.288 remaja di Kabupetan Bandung diduga pernah melakukan hubungan intim di luar nikah atau melakukan seks bebas. Hasil penelitian PLAN Internasional mengemukakan bahwa dari 300 responden yang berdomisili di 3 kelurahan di Surabaya ada 64% responden yang pernah melakukan seks bebas dan mereka masih berstatus sebagai pelajar SLTP dan SLTA, yang lebih menggegerkan di Kota Yogya hasil penelitian seks pra nikah yang dipublikasikan sebuah lembaga bahwa diketahui 97,05% dari jumlah 1.660 responden yang berstatus mahasiswi pernah melakukan sekls bebas. Naudzubillah...
Bukti lain tentang kemerosotan akhlak remaja dapat dilihat dari hasil temuan Tim Kelompok Kerja Penyalahgunaan Narkotika Depdiknas Tahun 2004 yang mengemukakan bahwa dari 4 juta pecandu nerkotika terdapat 20% pecandu narkotika yang berstatus anak sekolah usia 14-20 tahun. Menurut Badan Narkotika Nasional hingga saat ini pecandu narkotika bukan hanya terjadi di kota-kota besar akan tetapi sudah meluas sampai ke pelosok-pelosok daerah.
Fenomena-fenomena yang tampak seperti yang dikemukakan diatas merupakan krisis moral atau permasalahan akhlak yang dialami para remaja dewasa ini. Oleh karena itu pendidikan dalam semua aspek kehidupan harus dilakukan dalam rangka membentuk kepribadian yang utama sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.

A. PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Dalam bahasa Indonesia kata pendidikan merupakan kata jadian yang berasal dari kata didik yang diberi awalan pe dan akhiran an yang berarti proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia. Pendidikan merupakan proses mengubah keadaan anak didik dengan berbagai cara untuk mempersiapkan masa depan yang bai baginya.
Dalam bahasa Arab kata tarbiyah mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih cocok dipakai untuk kata pendidikan dalam bahasa Indonesia, karena terasa lebih luas cakupannya yakni bukan sekedar memberikan ilmu pengetahuan dan membina akhlak tetapi mencakup segala aspek pembinaan kepribadian anak didik secara utuh.
Menurut Abdur Rahman al-Bani pendidikan memiliki 4 unsur yaitu :
1. Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh)
2. Mengembangkan seluruh potensi
3. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan
4. Melaksanakannya secara bertahap
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan dalam hal ini ialah pendidikan Islam meliputi unsur-unsur memelihara dan mengembvangkan potensi atau fitrah anak didik secara bertahap sesuai dengan perkembangannya.
Menurut Abdullah yasin, Islam mengutamakan 4 jenis pendidikan sebagai berikut :
1. Pendidikan Jasmani
2. Pendidikan Akal
3. Pendidikan akhlak
4. Pendidikan Kerohanian
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, maka pendidikan akhlak merupakan salah satu bagian pendidikan dalam Islam yang sangat diperlukan agar anak memiliki akhlak yang baik. Akhlak yang baik dari seorang anak akan melahirkan generasi yang baik pula, yaitu generasi muda atau remaja yang taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua dan memperhatikan hak-hak bagi sauadara muslim yang lain.


D. PENGERTIAN DAN METODE PEMBINAAN AKHLAK KARIMAH

Secara linguistik, kata akhlak atau al-akhlak berasal dari bahasa Arab bentuk jama’ dari kata Khulkun yang artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat (Hamzah: 1996). Sedangkan Imam Al-Gazali (dalam Abudin Nata : 1996) mengemukakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan baik dan buruk, dengan gampang dan mudah tanpa menimbulkan pemikiran dan pertimbangan.
Kata “Karimah“ secara gramatikal berasal dari kata karuma-yakrumu-kariimun yang artinya mulia atau luhur. Oleh karena itu yang dimaksud dengan kata akhlak karimah adalah sifat, watak, perangai atau perilaku baik dan luhur yang bersumber dari nilai-nilai ajaran akhlak Islam.
Dalam Islam tidak tidak diragukan lagi bahwa kaidah serta batasan dalam mengerjakan baik dan buruk telah tertera dalam nash-nash syariah (al-Qur’an dan hadits). Di dalam kaidah akhlak ada istilah dawafi (dorongan) dan mawani (larangan). Dawafi merupakan sebuah daya dorong bagi setiap individu untuk melaksanakan akhlak dengan baik dan benar dan mawani adalah perkara yang membuat setiap individu terlarang untuk melakukan akhlak yang buruk.
Gambaran jelas tentang akhlak yang baik telah tercatat dalam al-Qur’an dan hadits sebagaimana yang dilakukan oleh nabi besar kita Muhammad SAW yang harus dijadikan contoh teladan yang ideal. Gambaran ini harus dijadikan pedoman bagi orang tua dalam mendidik dan membina akhlak remaja sebab pendidikan dan pembinaan akhlak dalam keluarga akan berjalan dengan baik apabila orang tua sebagai pembimbing utama dapat menjadi panutan dengan memberikan contoh tauladan melalui pembiasaan-pembiasaan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Pembiasaan-pembiasaan perilaku seperti melaksanakan nilai-nilai ajaran agama Islam (beribadah), membina hubungan atau interaksi yang harmonis dalam keluarga, memberikan bimbingan, arahan, pengawasan dan nasehat merupakan hal yang senantiasa harus dilakukan oleh orang tua agar perilaku remaja yang menyimpangf dapat dikendalikan.
Pola pendidikan dapat diupayakan melalui proses interaksi dan internalisasi dalam kehidupan keluarga dengan menggunakan metode yang tepat seperti yang dikemukakan an-Nahlawi (dalam Dahlan : 1992) bahwa metode pendidikan dan pembinaan akhlak yang perlu diterapkan oleh orang tua dalam kehidupan keluarga adalah sebagai berikut :
1. Metode hiwar (percakapan)
2. Metode kisah
3. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan)
4. Metode mendidik dengan teladan
5. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman
6. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan)
7. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut)
Menurut Al-Ghazali (dalam Abul Quasem : 1988) menjelaskan bahwa perubahan dan peningkatan akhlak dapat dicapai sepanjang melalui usaha dan latihan moral yang sesuai, untuk itu maka dalam mewujudkan akhlak yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode akhlak sebagai berikut : (1) pengalaman (al-tajribah) dan (2) latihan diri (riyadhah).
Materi yang diberikan pada para remaja dalam pendidikan akhlak sebaiknya tidak terlepas dari ruang lingkup akhlak Islami yang mencakup berbagai aspek seperti yang dikemukakan Hamzah (1996) diantaranya : akhlak terhadap Allah (hablum minallah), akhlak terhadap manusia (hablum minannas), akhlak terhadap alam semesta (hablum minal a’lam) dan akhlak terhadap diri sendiri (hablum minnafsi).

E. PERANAN KELUARGA DALAM MEMBINA AKHLAK REMAJA

Masa remaja sebagaimana yang dikemukakan di atas menurut Hurlock (dalam Istiwidayanti : 1992) adalah masa dimana seorang individu berada pada batasan umur 12-22 tahun. Karena masa remaja adalah masa-masa mencari identitas diri maka biasanya para remaja cenderung menginginkan kebebasan tanpa terikat oleh norma dan aturan.
Dalam masa pencarian identitas diri yang penuh gejolak ini, penting kiranya orang tua sebagai orang terdekat dalam lingkungan keluarga dengan remaja untuk mengenal dan memahami jiwa remaja secara mendalam agar dapat mendidik, membimbing serta mengarahkan akhlaknya menuju jalan yang benar dan diridhoi oleh Allah SWT.
42
Sebagai pendidik pertama dan utama, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam membina akhlak remaja. Nilai-nilai akhlak karimah yang bersumberkan ajaran agama Islam harus diberikan, ditanamkan dan dikembangkan oleh orang tua terhadap para remaja dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman akhlak tersebut penting karena inti dari keberagamaan seseorang akan termanifestasikan dalam akhlak karimah.
Akhlak karimah yang perlu ditanamkan orang tua seperti ketaatan beribadah, berperilaku baik, hormat kepada orang tua, memiliki sifat ikhlas tawadhu secara perlahan-lahan akan terinternalisasi pada diri setiap remaja sehingga akhirnya berdampak positif bagi kehidupan mental dan spiritualnya, sehingga dapat memberikan kekuatan yang positif bagi remaja dalam menjalani proses hidup dan dapat menyikapi dampak negatif yang diakibatkan oleh era globalisasi dan informasi.
Agama Islam sebagai sumber nilai akhlak harus dijadikan landasan oleh orang tua dalam membina akhlak remaja karena agama merupakan pedoman hidup serta memberikan landasan yang kuat bagi diri setiap remaja. Di samping itu pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan orang tua sehari-hari seperti sholat, membaca Al-Qur’an, menjalankan puasa serta berperilaku baik merupakan bagian penting dalam pembentukan dan pembinaan akhlak remaja.
Dalam pendidikan dan pembinaan akhlak bagi para remaja, orang tua harus dapat berperan sebagai pembimbing spiritual yang mampu mengarahkan dan memberikan contoh tauladan, menuntun, mengarahkan dan memperhatikan akhlak remaja sehingga para remaja berada pada jalan yang baik dan benar. Jika remaja melakukan kesalahan, maka orang tua dengan arif dan bijaksana membetulkannya, begitu juga sebaliknya jika remaja melakukan suatu perbuatan yang terpuji maka orang tua wajib memberikan dorongan dengan perkataan atau pujian maupun dengan hadiah berbentuk benda.
Oleh karena itu peranan keluarga sangat besar dalam membina akhlak remaja dan mengantarkan kearah kematangan dan kedewasaan, sehingga remaja dapat mengendalikan dirinya, menyelesaikan persoalannya dan menghadapi tantangan hidupnya. Untuk membina akhlak tersebut, maka orang tua perlu menerapkan disiplin dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Disiplin yang ditanamkan orang tua merupakan modal dasar yang sangat penting bagi remaja untuk menghadapi berbagai macam pesoalan pada masa remaja.
Peranan keluarga (orang tua) dalam membina akhlak remaja antara lain dapat dilakukan dengan cara :
43
1. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diperintahkan dalam ajaran agama Islam. Dalam hal ini orang tua harus menjadi contoh yang baik dengan memberikan bimbingan, arahan, serta pengawasan sehingga dengan kondisi seperti ini remaja menjadi terbiasa berakhlak baik.
2. Meningkatkan interaksi melalui komunikasi dua arah. Orang tua dalam hal ini dituntut untuk dapat berperan sebagai motivator dalam mengembangkan kondisi-kondisi yang positif yang dimiliki remaja sehingga perilaku atau akhlak remaja tidak menyimpang dari norma-norma baik norma agama, norma hukum maupun norma kesusilaan.
3. Meningkatkan disiplin dalam berbagai bidang kehidupan. Orang tua dalam melaksanakan seluruh fungsi keluarganya baik fungsi agama, fungsi pendidikan, fungsi keamanan, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial harus dilandasi dengan penanaman disiplin yang terkendali agar dapat mengendalikan akhlak atau perilaku remaja.


D. PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan institusi sosial yang utama dalam membina nilai-nilai akhlak karimah remaja. Oleh karena itu orang tua sebagai tiang keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dan tanggungjawab yang besar dalam membina akhlak remaja sebab ditangan orang tuanyalah, orang menilai baik buruknya akhlak remaja.
Untuk menghindarkan dampak negatif akibat arus globalisasi dan informasi yang terjadi pada saat ini, maka keluarga (orang tua) dituntut untuk menanamkan nilai-nilai luhur (nilai agama Islam) dengan memberikan contoh yang baik sehingga contoh baik ini dapat dijadikan landasan dalam bersikap dan berperilaku serta menjadi tauladan bagi remaja.
Dengan demikian maka peranan keluarga dalam pembinaan akhlak remaja perlu ditingkatkan untuk mewujudkan generasi yang kuat, sehat serta berakhlak karimah yang baik melalui peningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, peningkatan pola interaksi serta peningkatan disiplin dalam berbagai bidang kehidupan.


44
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Yasin, 2007, Pendidikan dalam Islam.. Pertubuhan Kebajikan Al-Nidaa’ Malaysia
Abudin Nata , 1996, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Abul Quasem, 1988, Etika Al-Ghazali, Pustaka Bandung.
An-Nahlawi, Penyunting M.D Dahlan, 1992 Prinsip-Prinsip Metoda Pendidikan Islam, Dalam Keluarga, Di Sekolah dan Di Masyarakat, Diponogoro, Bandung.
Elizabeth B. Hurlock, 1992, Psikologi Perkembangan, Terj. Istiwidayanti, Erlangga Jakarta.
Erawati Aziz, 2005, Prinsiop-prinsip Pendidikan Islam, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Surakarta.
Hasan Basri, 2003, Jiwa Remaja Dalam Pandangan Islam, Media Pendidikan, Jurnal Pendidikan Keagamaan, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Hamzah Ya’qub, 1996, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah, Diponogoro, Bandung.
Sarlito, 1994, Psikologi Remaja, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
RIWAYAT PENULIS

Ikeu Kania, adalah Dosen Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan Banten yang diperbantukan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Garut dari tahun 1993 sampai dengan sekarang. Lahir di Garut pada tanggal 21 April 1968, riwayat pendidikan dari mulai tingkat SD, SMP,SMA ditempuh di Kabupaten Garut tempat kelahirannya. Demikian pula pendidikan S1 dan S2 didapat dari Universitas Garut tempat mengembangkan profesionalitasnya.

PENDEKATAN PROBLEM SOLVING U MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA SD/MI DALAM MATEMATIKA DIKAITKAN TAHAPAN PERKEMBENGAN INTELEKTUALNYA

Pendekatan Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SD/MI dalam Matematika Dikaitkan dengan Tahapan Perkembangan Intelektualnya

Oleh : Asep Kurnia

Abstrak

Penggunaan suatu pendekatan pembelajaran di kelas sangat mempengaruhi kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran inovatif yang secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika adalah pendekatan problem solving. Hanya dalam pelaksanaannya di kelas, tetap harus berpedoman kepada tahap perkembangan intelektual siswa, dengan harapan tidak terjadi kegagalan. Selanjutnya dengan penggunaan pendekatan ini diharapkan terciptanya individu-individu generasi penerus, pembela agama dan bangsa yang handal, kreatif dan tangguh.


A. Pendahuluan

21
Matematika sebagai salah satu cabang disiplin ilmu pengetahuan memegang peranan penting dalam melatih dan mengembangkan pola berpikir manusia, matematika merupakan pembimbing pola berpikir maupun sebagai pembentuk sikap. Mengingat pentingnya matematika bagi manusia, maka matematika perlu dipahami dan dikuasai oleh kita. Hal ini bertujuan agar pola pikir dan sikap kita, terutama di dalam kehidupan bermasyarakat dapat lebih teratur, sistematis dan efisien. Apalagi jika kita mengkaji dan mendalami kebesaran ayat-ayat Allah SWT. Kita telah di beri oleh Allah SWT kelengkapan, berupa khalqiyah (fisik dan daya karya) dan aqliyah (akal dan daya cipta) seperti di sebutkan dalam Al-Qur’an Surat At-Tin (95 : 4) yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Maka sebagai rasa syukur kita kepada-Nya, sudah sepatutnya apa yang ada pada diri kita ini diolah dan dikembangkan sehingga mencapai optimal guna kepentingan agama dan bangsa.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, Ruseffendi (2006, h. 94) mengemukakan, “Matematika penting sebagai pembimbing pola berpikir maupun sebagai pembentuk sikap. Oleh sebab itu salah satu tugas guru adalah mendorong siswa agar dapat belajar matematika dengan baik”. Namun pada kenyataannya hasil belajar siswa dalam matematika masih rendah, hal ini terlihat dari tingkat keberhasilan yang dicapai siswa setelah mengikuti serangkaian kegiatan belajar mengajar yang masih kurang memuaskan. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara tetangga Singapura bahkan secara Internasional masih sangat rendah. Seperti dapat dilihat pada tabel berikut tentang hasil pekerjaan siswa SD dalam matematika untuk satu soal dari studi TIMSS 1999 :
Soal :
n is a number. when n is multiplied by 7, and 6 is then added, the result is 41. which of these equations represents this relation ?
A. 7n + 6 = 41
B. 7n – 6 = 41
C. 7n x 6 = 41
D. 7(n + 6) = 41
hasil jawabannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1
Hasil Pekerjaan Siswa
Negara
Rata-rata Prosentase Siswa yang Menjawab Benar
Singapura
89%
Internasional
65%
Indonesia
37%
Sumber : TIMSS 1999
22
Dari data di atas jelas bahwa tingkat keberhasilan belajar siswa dalam matematika masih sangat rendah. Hal ini bisa saja disebabkan oleh kesalahan guru dalam melakukan proses pembelajaran. Salah satu kemungkinan tersebut adalah guru tidak utuh, kurang tepat bahkan tidak seluruhnya dalam mentransfer ilmu kepada siswa, baik dari segi pendekatan pembelajaran, metode, maupun materi ajarnya. Padahal Allah SWT berfirman (Q.S. Al-Baqarah ; 2 : 31) yang artinya, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,…”. Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa jika mengajarkan sesuatu ilmu kepada orang lain maka jangan asal-asalan, tetapi sebaliknya harus bersungguh-sungguh, utuh dan seluruhnya. Apalagi jika kita seorang pendidik sudah sepantasnyalah berbuat hal yang sama.
Mata pelajaran matematika yang diajarkan oleh guru di SD/MI diharapkan tidak hanya diterima begitu saja oleh siswa, akan tetapi harus dapat dipahami. Salah satu bentuk pembelajaran yang sesuai dengan harapan tersebut adalah dengan cara mengutamakan keaktifan siswa. Seorang filsuf Yunani mengatakan : jika mendengar maka akan lupa, jika melihat maka akan mengetahui, dan jika melakukan maka akan memahami. Sehingga jika siswa aktif melakukan pembelajaran, maka diharapkan akan lebih paham tentang materi yang diajarkan.
Banyak bentuk pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Pemilihan pendekatan yang tepat selain dapat mengatur siswa di dalam kelas, juga dapat memberikan motivasi serta dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya secara optimal. Dengan demikian siswa tidak hanya menyerap informasi dari guru, akan tetapi dapat berperan aktif mengembangkan pengetahuannya secara mandiri dengan bimbingan dan arahan guru.

B. Pendekatan Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika
23
Banyak bentuk pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, salah satu diantaranya adalah bentuk pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Pendekatan problem solving dalam pembelajaran matematika menurut Taplin (1996) adalah “…a problem solving approach to teaching mathematics. The focus is on teaching mathematical topics through problem solving contexts and enquiry oriented environments which are characterized by the teacher…”. Jadi pendekatan ini pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran matematika melalui konsep pemecahan masalah dan berorientasi pada metode penemuan serta mempunyai ciri antara lain: guru membantu siswa untuk mengkontruksi pemahamannya tentang matematika. Guru melakukan pembelajarannya di kelas melalui apa yang disebut dengan “doing math” yang mencakup ; menciptakan, menduga-duga (trial & error), menyelidiki, menguji, dan membuktikan.
Pendekatan problem solving memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa dan guru dengan siswa
2. Terjadinya dialog matematika dan konsensus antar siswa
3. Guru hanya memberikan informasi tentang permasalahan dan siswa melakukan klarifikasi, interpretasi, dan berusaha mengkonstruksi proses penyelesaian
4. Guru menerima benar/salahnya jawaban siswa dalam cara non-evaluatif
5. Guru membimbing, melatih, memberikan stimulus dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mendiskusikan proses pemecahan masalah dengan siswa
6. Guru harus tahu kapan mengintervensi siswa dan kapan tidak, dan biarkan dulu siswa mencoba-coba dulu jawabannya
7. Dapat mendorong siswa membuat generalisasi tentang aturan dan konsep matematika
Dengan melihat karakteristik tersebut pendekatan problem solving mempunyai sifat yang variatif, baik bagi siswa maupun bagi gurunya. Secara umum pendekatan problem solving memberikan peranan sebagai berikut :
1. Dapat membangun aspek-aspek matematika
2. Dapat memberikan motivasi yang lebih besar kepada siswa karena dapat menggali kemampuan berpikir siswa
3. Dapat menciptakan suatu konteks pembelajaran yang dapat disimulasikan ke bentuk real life sehingga tidak berbentuk klasikal
4. Dapat meningkatkan kemampuan dan kreatifitas siswa dalam matematika
5. Dapat membantu manusia menyelesaikan dan survive dalam kehidupannya
6. Dapat melatih berpikir kritis
7. Dapat melatih logika menalar siswa
24
Seiring siswa berkembang, pendekatan problem solving dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran matematika karena siswa secara umum tampak lebih mampu untuk mengorganisasikan pikiran mereka. Bahkan bisa lebih dari satu variabel yang mereka pikirkan.

C. Tahapan Perkembangan Intelektual Siswa SD/MI Dikaitkan dengan Kemampuan Memahami Matematika

Banyak para ahli mengemukakan tahap perkembangan peserta didik, dimana setiap tahapan diharapkan menjadi tolak ukur guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Sehingga dengan berpedoman pada perkembangan peserta didik tersebut diharapkan akan diperoleh hasil yang lebih baik. Diantara para ahli tersebut adalah Piaget, Bruner, Dienes.
1. Jean Piaget dengan Teori Perkembangan Mentalnya
Perkataan “mental” menurut Piaget adalah kemampuan intelektual atau kognitif. Teorinya disebut teori belajar sebab berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar. Menurut teorinya perkembangan kognitif manusia tumbuh secara kronologis melalui empat tahap yang berurutan.
Empat tahap teori perkembangan kognitif tersebut beserta konsep-konsep matematika yang dapat dipahami individu dapat kita lihat sebagai berikut :
1. Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun) mempunyai ciri utama : individu hanya baru bisa belajar mengaitkan simbul benda dengan benda konkritnya, mulai melakukan perbuatan coba-coba berkenalan dengan benda-benda konkrit, disusunnya, diutak-atik dan lain-lain. Pada tahap ini belum ada pemahaman konsep dalam matematika.
2. Tahap preoperasi (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun) mempunyai ciri utama : individu mulai menganggap bahwa benda konkrit memiliki karakter yang sama dengan aslinya sehingga memungkinkan memberikan perlakuan seperti mengajak bicara, mengasih makan, minum dan menidurkannya. Akan tetapi belum memiliki konsep menalar. Pada tahap ini terbagi dua tahap berpikir matematika yaitu :
a. tahap berpikir prekonseptual (umur 2-4 tahun) : belum ada pemahaman konsep matematika.
b.
25
tahap berpikir intuitif (umur 4-7 tahun) : geometri, kekekalan bilangan, himpunan.
3. Tahap operasi konkrit (umur sekitar 7 tahun sampai sekitar 11-12 tahun) ; mempunyai ciri utama : sifat egoisme individu mulai berkurang, individu sudah mulai memiliki pengetahuan konsep penalaran konkrit. Pada tahap ini individu sudah memahami konsep perbandingan, waktu, perkalian, sifat komutatif dan asosiatif.
4. Tahap operasi formal (umur dari sekitar 11 tahun sampai dewasa) ; mempunyai ciri utama : sudah tidak memerlukan lagi perantaraan operasi konkrit untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal, sudah dapat merumuskan teori, menggeneralisasi teori, sudah dapat berpikir deduktif dan induktif. Pada tahap ini individu sudah dapat melakukan pengukuran isi, berpikir logika secara formal, sistem aksiomatik/deduktif.

2. Jerome S. Bruner dengan Metode Penemuannya
Bruner membagi dunia anak ke dalam tiga bagian, yaitu :
1. Enactive
2. Iconic
3. Symbolic
Tahap enactive secara umum berupa gerak, namun dikaitkan dengan benda-benda konkrit. Pada tahap ini untuk memahami konsep matematika, setiap individu selalu dituntun dengan benda konkrit. Misalnya untuk memahami konsep bilangan, individu dituntun dengan menggunakan jari tangan atau lidi.
Tahap iconic menggambarkan ciri individu yang sudah lebih jauh tidak sekedar gerak tetapi sudah masuk ke bentuk persepsi statik. Pada tahap ini individu sudah mulai dapat menggunakan nalar, berupa persepsi tentang benda konkrit, baik lambang maupun sifatnya. Dalam hal ini individu sudah dapat berpikir semi abstrak. Misalnya pada konsep bilangan, individu sudah dapat menggambarkan lambang angka untuk satu buah lidi, dua buah lidi dan seterusnya.
26
Tahap symbolic pada dasarnya menggambarkan individu yang sudah dapat berpikir formal, abstrak dan bersifat aksiomatik. Pada tahap ini konsep matematika yang abstrak dan memerlukan penalaran logis sudah dapat dilakukan dengan relatif baik. Misalnya pada konsep bilangan, individu sudah dapat melakukan operasi aljabar bilangan dalam bentuk simbol-simbol, tanpa dibantu benda konkrit.
Bruner selain memberikan penjelasan tentang tahapan perkembangan individu seperti diatas, juga memberikan dalil-dalil perkembangan individu dikaitkan dengan pembelajaran matematika, yaitu :
1. Dalil Penyusunan
2. Dalil Notasi
3. Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman
4. Dalil Pengaitan
Dalil penyusunan menjelaskan kepada kita bahwa bagi anak untuk belajar konsep matematika dapat dilakukan dengan melakukan penyusunan representasinya. Misalnya : untuk memahami konsep penjumlahan 2 + 3 = 5, siswa melakukan sendiri langkah kerja secara berurutan, seperti melakukan pergeseran 2 kotak dan 3 kotak pada garis bilangan.
Dalil notasi menjelaskan kepada kita bahwa ketika memberikan konsep matematika kepada siswa, maka konsep tersebut harus disajikan dengan menggunakan notasi yang sesuai dengan perkembangan siswa.
Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman menjelaskan kepada kita bahwa untuk mengubah representasi konkrit ke abstrak suatu konsep matematika diperlukan adanya kegiatan pengkontrasan dan keanekaragaman. Maksudnya ialah agar konsep itu dapat lebih bermakna bagi siswa haruslah dikontraskan dengan konsep lain dan disajikan dalam beraneka ragam contoh.
Sedangkan dalil pengaitan menjelaskan kepada kita bahwa satu konsep dalam matematika selalu berkaitan dengan konsep yang lain, konsep sebelumnya dan konsep yang akan datang. Oleh karena itu agar keberhasilan siswa dalam belajar matematika lebih baik, maka haruslah diberikan lebih banyak kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan tersebut.
Dari dalil-dalil tersebut maka bruner terkenal dengan metode penemuannya yaitu siswa harus dapat menemukan sendiri konsep matematika dalam pembelajarannya.

3. Zoltan P. Dienes mengenai Pengajaran Matematika
27
Pengajaran matematika dari Dienes lebih mengutamakan kepada pengertian dan pemahaman sehingga matematika itu lebih mudah dipelajari dan lebih menarik. Menurut pengamatan dan pengalamannya terdapat anak-anak yang menyukai matematika hanya pada permulaannya saja ketika matematika masih dalam bentuk yang sederhana. Makin tinggi sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya maka makin banyak siswa yang berkurang minatnya. Bahkan banyak anak yang masih tidak paham tentang konsep yang sederhana, banyak konsep yang dipahami secara keliru. Sehingga matematika dianggap ilmu yang sukar, ruwet dan membingungkan.
Yang dimaksud dengan konsep menurut Dienes adalah struktur matematika yang terdiri dari tiga macam yaitu : konsep murni, konsep notasi dan konsep terapan. Agar siswa dapat memahami konsep itu maka harus diajarkan dengan urutan berikut : konsep murni dulu, dilanjutkan dengan konsep notasi dan diakhiri dengan konsep terapan. Konsep murni berkenaan dengan mengelompokkan bilangan dan hubungan antar bilangan tanpa memepertimbangkan bagaimana bilangan itu disajikan. Misal angka sepuluh, dapat ditulis 10, X dan sebagainya. Konsep notasi adalah sifat-sifat bilangan sebagai akibat dari bilangan itu disajikan. Misal penulisan dengan bilangan dasar 2, maka dapat diolah dengan komputer dan sebagainya. Konsep terapan adalah aplikasi konsep murni dan konsep notasi dalam pemecahan soal-soal matematika dan bidang studi lainnya.
Menurut Dienes, konsep matematika dapat dipahami dengan baik bila representasinya dimulai dengan benda konkrit yang beranekaragam. Karena menurutnya jika hal ini diterapkan oleh guru untuk setiap konsep yang diajarkan, maka akan menyempurnakan penghayatan siswa terhadap konsep itu. Ada beberapa alasan yang menurut Dienes mendukung cara ini, antara lain :
1. Dengan melihat berbagai contoh siswa akan memperoleh penghayatan yang lebih benar.
2. Dengan banyaknya contoh itu maka siswa akan lebih banyak dapat menerapkan konsep itu ke dalam situasi yang lain.
Dienes berpendapat ada 6 tahap dalam belajar dan mengajarkan konsep matematika, yaitu :
1. Bermain bebas 4. Representasi
2. Permainan 5. Penyimbulan
3. Penelaahan sifat bersama 6. Pemformalan
28
Secara umum, pendapat ini sejalan dengan pendapat Piaget tentang tahap perkembangan mental manusia. Dengan memperhatikan beberapa pendapat para ahli tentang bagaimana sebaiknya memberikan pembelajaran berdasarkan tahap-tahap perkembangannya, maka memberikan implikasi bahwa alangkah baiknya jika para guru matematika khususnya, dapat mengajar dan mendidik siswanya sesuai dengan tahapan perkembangan dan kematangannya agar diperoleh hasil yang lebih baik.

D. Pendekatan Problem Solving pada Pembelajaran Matematika SD/MI Dikaitkan dengan Tahap Perkembangan Intelektual Siswa
Sangatlah penting guru membangun keahlian problem solving dalam diri siswa SD/MI, baik mereka itu individu yang berada pada tahap operasional konkrit ataupun formal. Para guru harus membangun berdasarkan pada kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh para siswa. Guru harus mengenali ketidakmampuan mereka dalam mengorganisasikan, mensistematisasikan dan mendapatkan penyelesaian secara efisien terutama saat dilibatkan beberapa variabel atau hubungan. Sehingga tidak terjadi kesalahan yang fatal baik bagi siswa maupun bagi guru yang mengajarkannya
Perkembangan siswa SD/MI secara garis besar dimulai dari usia 6/7 tahun sampai dengan usia 12/13 tahun. Menurut Piaget pada usia ini, siswa SD/MI berada pada tahap operasional konkrit dan mungkin sebagian berada pada tahap formal. Sehingga ketika guru mengajarkan matematika dengan pendekatan problem solving sebaiknya memperhatikan kondisi perkembangan tersebut. Hal ini sejalan dengan teori Bruner yang mengatakan bahwa usia SD/MI berada pada tahap enactive, iconic dan sebagian sudah ke tahap symbolic. Yang artinya proses pembelajaran yang dilakukan masih harus dibantu oleh benda-benda konkrit. Hanya sebagian saja yang mungkin sudah dapat berpikir formal/abstrak sehingga tidak perlu lagi menggunakan benda konkrit.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas penggunaan pendekatan problem solving dalam pembelajaran matematika untuk siswa SD/MI sangatlah beraneka ragam, tergantung pada tahapan/tingkat perkembangan siswa dan materi ajar. Maksudnya bahwa untuk tahapan siswa tertentu dan atau materi ajar tertentu, bentuk pendekatan problem solving-nya berbeda. Misalkan pendekatan problem solving untuk siswa SD/MI kelas III akan berbeda dengan kelas IV, demikian juga dengan materi ajarnya.
29
Sebagai contoh kita lihat pada proses pembelajaran berikut :
Contoh 1 :
Materi : Geometri
Pokok Bahasan : Keliling dan Luas Persegipanjang
Kelas : III
Waktu : 1 x 40 menit
Hasil belajar : Menentukan Keliling dan Luas Bangun Datar
Indikator : Menemukan cara menghitung keliling dan luas persegipanjang, serta menggunakannya dalam problem solving
Media/alat : Tali/benang, alat ukur panjang (meteran), sudut siku-siku
Pengalaman belajar :
(1) Prasyarat siswa telah terampil dalam penjumlahan atau pengurangan, perkalian atau pembagian, menggunakan alat pengukur meteran dan sudut, dan mengenal rumus keliling dan luas persegi panjang dan segitiga.
(2) Guru menyiapkan bentuk-bentuk geometri di halaman kelas, seperti berikut ini dengan menggunakan media tali/benang.
E


I A B
II F

D C G
III

J I

(3)
30
Siswa ditugaskan untuk mengukur keliling dan luas bangun sesuai dengan tugasnya, kelompok I mengukur bangun I (segiempat ABCD), kelompok II mengukur bangun II (segilima BEFGC), dan kelompok III mengukur bangun III (segiempat DGIJ).
(4) Guru membimbing siswa dalam menggunakan meteran dan sudut siku-siku, bimbingan tersebut antara lain :
Kelompok I : pastikan bahwa bangun tersebut persegi panjang dengan mengukur sudut-sudutnya menggunakan sudut siku-siku. Jika sudah siku-siku, ukurlah panjang AB dan panjang AD, masukan ke dalam rumus keliling dan rumus luas persegipanjang
Kelompok II : bentangkan lagi tali dari BG dan BF, sehingga didapat tiga daerah segitiga (BFE, BFG an BCG), buat garis tinggi dari ketiga segitiga tersebut dengan menggunakan tali dan sudut siku-siku, sehingga didapat gambar seperti di bawah ini :
E

B K L F


C G

Lakukan pengukuran untuk keliling, adalah panjang BE + EF + FG + GC + BC
Lakukan pengukuran panjang alas dan panjang tinggi segitiga. Gunakan rumus mencari luas segitiga
Kelompok III : petunjuk hampir sama dengan kelompok II.
(5) Siswa mempresentasikan hasil tugasnya dihadapan kelompok lain secara bergantian
(6) Guru memberikan penguatan dan saran-saran yang diperlukan

Contoh 2 :
Materi : Bilangan sampai dengan 500
Pokok Bahasan : Operasi Hitung Bilangan
31
Kelas : II
Waktu : 1 x 40 menit
Hasil belajar : Melakukan penjumlahan dan atau pengurangan bilangan
Indikator : Memecahkan soal cerita yang mengandung penjumlahan dan pengurangan
Media/alat : Karet gelang dalam ikatan limapuluhan, sepuluhan dan satuan
Pengalaman belajar :
(1) Guru mengadakan apersepsi keterampilan siswa dalam menjumlah dan mengurang suatu bilangan paling besar 500
(2) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok (misal 5 kelompok), setiap kelompok diberi sejumlah karet gelang yang telah diikat dalam limapuluhan, misalnya sebagai berikut :
a. kelompok A mendapat 150 karet gelang (3 ikat)
b. kelompok B mendapat 200 karet gelang (4 ikat)
c. kelompok C mendapat 250 karet gelang (5 ikat)
d. kelompok D mendapat 300 karet gelang (6 ikat)
e. kelompok E mendapat 350 karet gelang (7 ikat)
(3) Seterusnya karet gelang setiap kelompok ditambah lagi dengan jumlah sebarang, sehingga jumlahnya berubah, menjadi sebagai berikut :
a. kelompok A menjadi 260 karet gelang
b. kelompok B menjadi 375 karet gelang
c. kelompok C menjadi 455 karet gelang
d. kelompok D menjadi 463 karet gelang
e. kelompok E menjadi 489 karet gelang
(4) Siswa mendiskusikan berapa karet gelang yang ditambahkan pada pemberian yang kedua
(5) Siswa menuliskan kalimat matematika sesuai dengan tugasnya masing-masing
(6) Salah seorang wakil kelompok (secara bergiliran) melaporkan hasil diskusi (presentasi kelompok)
(7) Kelompok yang lain dan guru menanggapinya serta guru memberikan penguatan terhadap hasil kerja siswa
Selanjutnya untuk mengevaluasi proses pembelajaran setelah satu pokok bahasan selesai, siswa di beri soal ulangan yang berbentuk problem solving yaitu soal tidak rutin. Soal tidak rutin adalah soal yang tidak langsung dapat dijawab secara prosedural. Soal problem solving terbagi ke dalam 3 bentuk yaitu :
1.
33

32
Bentuk soal problem solving reproduksi (sederhana)
2. Bentuk soal problem solving koneksi (medium/sedang)
3. Bentuk soal problem solving analisis (sukar)
Adapun untuk menyelesaikan soal-soal problem solving dapat menggunakan tahapan Polya, yang meliputi :
1. memahami permasalahan
2. menyusun strategi penyelesaian
3. melaksanakan rencana penyelesaian
4. mengecek kembali hasil penyelesaian
Sebagai contoh dapat kita lihat pada soal berikut :
Aku ingin membuat arena bermain untuk kelinci-kelinciku. Arena yang aku buat harus seluas mungkin. Di gudang terdapat segulung pagar kawat yang akan aku gunakan untuk membatasi arena bermain kelinciku ; panjangnya 36 meter. Berapakah hendaknya panjang dan lebar arena bermain kelinci tersebut ?

Penyelesaian
1. anak-anak harus memahami permasalahan yaitu kawat yang ada di gudang akan dibuat pagar dan harus menghasilkan arena bermain bagi kelinci seluas-luasnya. Hal ini berhubungan dengan keliling, luas, panjang dan lebar.
2. anak-anak harus dapat menyusun strategi penyelesaian, mungkin dengan menduga-duga, mencoba-coba (trial & error), menyusun tabel, dan sebagainya
3. kemudian melaksanakan rencana penyelesaian, misalkan dengan menggunakan tabel. Tabel tersebut dapat kita lihat sebagai berikut :

Tabel 2
Trial & Error Jawaban Siswa
Keliling
Panjang
Lebar
Luas
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
17
16
15
14
33
13
12
11
10
9
8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
17
32
45
56
33
65
72
77
80
81
80

Setelah anak-anak membuat tabel, diskusikan tabel itu bersama mereka. Di sini guru menanyakan kepada siswa “kenapa luas yang dihasilkan mulai meningkat ? pada titik manakah luas itu mulai menurun ? dan anak-anak seharusnya menemukan bahwa luas yang terbesar dihasilkan ketika panjang dan lebarnya sama. Anak-anak hendaknya mengetahui dan membuat generalisasi bahwa sebuah persegi lebih luas dari persegipanjang yang memiliki keliling sama dengan persegi itu.
4. mengecek kembali hasil penyelesaian, jika benar sudah selesai, jika salah diulangi lagi dari awal.
Dari contoh pembelajaran dan soal problem solving di atas diharapkan anak-anak dapat menemukan pengetahuan baru, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam matematika.

E. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SD/MI melalui Pendekatan Problem Solving
Setiap guru pasti menghendaki hasil yang optimal dari proses pembelajarannya. Salah satu tolok ukur dari keberhasilan tersebut adalah siswa dapat berpikir matematik secara baik, apalagi jika sampai pada tahap berpikir tingkat tinggi. Terdapat empat bagian besar berpikir tingkat tinggi dalam matematik yaitu : kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi dan kemampuan komunikasi.
34
Pendekatan pembelajaran matematika yang sudah mencakup keempat bagian tersebut adalah pendekatan problem solving. Sehingga dapat saja pendekatan ini dipilih oleh guru dalam proses pembelajaran matematika di kelas karena secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dalam matematika.
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat tujuan pendekatan problem solving dalam pembelajaran matematika untuk siswa SD/MI pada masing-masing bagian sebagai berikut :
1. Kemampuan pemecahan masalah ;
Pendekatan problem solving bertujuan agar siswa dapat :
a. mengidentifikasi/menginvestigasi dan memahami serta memaknai isi matematika
b. merumuskan permasalahan ke model matematika
c. membangun pemahaman konsep dan mengaplikasikannya untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan matematika
d. memverifikasi dan menginterpretasikan hasil penyelesaian soal
e. mempunyai kepercayaan diri untuk memahami, memaknai dan menyelesaikan persoalan matematika
2. Kemampuan penalaran ;
Pendekatan problem solving bertujuan agar siswa dapat :
a. menuliskan kesimpulan yang logis dan sistematis tentang matematika
b. menggunakan model, mengetahui fakta, sifat dan hubungan antar variabel sesuai dengan pikirannya
c. menilai proses jawabannya, apakah sudah benar atau belum
d. menggunakan pola-pola dan hubungan antar pola tersebut untuk menganalisis situasi kematematikaan
e. yakin bahwa matematika itu masuk akal
3. Kemampuan koneksi ;
Pendekatan problem solving bertujuan agar siswa dapat :
a. menghubungkan konsep dengan pengetahuan prosedural
b. menghubungkan representasi konsep atau prosedur antara yang satu dengan yang lain
c. mengetahui hubungan antara topik-topik yang berbeda dalam matematika
d. menggunakan pengetahuan kematematikaannya pada bidang yang lain
e. menggunakan pengetahuan kematematikaannya dalam kehidupan sehari-hari
4. Kemampuan komunikasi ;
Pendekatan problem solving bertujuan agar siswa dapat :
a.
35
menghubungkan gambar, diagram dan materi fisik ke bentuk ide/model matematika
b. bercermin dan mengklarifikasi ide-ide dan situasi pemikiran matematikanya
c. menggunakan bahasa sehari-harinya ke dalam bahasa dan simbol matematik
d. menyadari bahwa merepresentasikan, diskusi, membaca, menulis dan mendengarkan adalah hal yang sangat penting untuk mempelajari dan menggunakan matematika.
Dengan melihat uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa pendekatan problem solving dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika. Sekarang tinggal bagaimana guru memanfaatkan terobosan dalam pembelajaran ini, tetapi dalam prakteknya harus selalu memperhatikan tahapan perkembangan intelektual siswa agar tidak menyebabkan kegagalan.

F. Penutup
Penggunaan suatu bentuk pendekatan pembelajaran di kelas sangat berpengaruh terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika. Pendekatan problem solving sebagai salah satu bentuk pendekatan pembelajaran matematika yang inovatif, amatlah layak jika dijadikan salah satu alternatif bagi guru untuk melaksanakan pembelajarannya, mengingat pendekatan ini secara langsung dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika tersebut. Akan tetapi dalam pelaksanaanya di kelas, tetap harus berpedoman kepada tahap perkembangan intelektual siswa agar tidak terjadi suatu kegagalan.
Pada dasarnya segala potensi dan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika (kemampuan memecahkan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi dan kemampuan komunikasi) dapat ditingkatkan secara optimal, hanya bagaimana cara guru memilih, meracik, mengolah dan mengembangkan bentuk-bentuk pendekatan yang ada sehingga betul-betul dapat memberikan bukti yang nyata bagi kita. Dengan harapan diperoleh individu-individu generasi penerus, pembela agama dan bangsa yang handal, kreatif dan tangguh.

36

23
DAFTAR PUSTAKA

Adjie, N. dan Maulana. (2006). Pemecahan Masalah Matematika. Bandung : UPI Press

Jones, T. (2000). Instructional Approaches to Teaching Problem Solving in Mathematics : Integrating Theories of Learning and Technology. Final Paper, EDUC6100

Nurihsan, J. (2007). Perkembangan Peserta Didik.(Modul) Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI Bandung

Reys, R. E. dkk (1998). Helping Children Learn Mathematics. Fifth Edition. USA : Allyn & Bacon

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito

Taplin, M. (2006). Mathematics through Problem Solving. Hongkong : Institute of Sathya Sai Education Hong Kong

TIMSS 1999

Wahyudin. (2007). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI Bandung










37

RIWAYAT PENULIS

Nama Lengkap : Asep Kurnia, S.Pd., M.Pd.
Tempat Tgl Lahir : Garut, 07 Juli 1975
Alamat : Kp. Sentral No. 323 RT 03 RW 03 Ds.
Mangkurayat Kec. Cilawu Kab. Garut
Tlp. : 236821 – 081322773677 – 08987719135

Pendidikan :
1. SDN Nagrak 1 Garut 1982 – 1988
2. SMPN 2 Garut 1988 – 1991
3. SMAN 1 Tarogong Kidul Garut 1991 – 1994
4. Pendidikan Matematika UPI Bandung 1994 – 2000
5. Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana (S2) UPI Bandung 2001 – 2004

Pengalaman Organisasi :
1. OSIS SMPN 2 Garut
2. OSIS SMAN 1 Tarogong Kidul Garut
3. Pengurus HIMA Pendidikan Matematika UPI Bandung

Jabatan :
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Garut

PRAKSIS PENDIDIKAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUMANISME

PRAKSIS PENDIDIKAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUMANISME

Oleh : Asep Nurjaman

ABSTRAK

Studi ini menekankan pentingnya filsafat humanisme sebagai landasan dalam pembelajaran karena secara substansial terdapat aspek penting yang harus dijadikan landasan dalam melaksanakan fungsi pengajar yang humanis. Humanis erat kaitannya dengan bentuk dasar human dan humanis adalah orang yang menganut paham humanisme. Pengajar harus humanis yang memiliki kualitas kemanusiaan dalam bentuk lima aspek, aspek pertama, relasi sosial, tanggung jawab, intelek dan aktualisasi diri. Pendidikan nasional harus mengedepankan filsafat humanisme, serta menghidupkan kembali dan memberi semangat bantuan dalam praksis pendidikan agar menuju arah yang benar. Pada intinya adalah harus ada keterkaitan secara signifikan antara filsafat humanisme dengan pendidikan agar tujuan utama pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas kemanusiaan yang sejalan dengan potensi peserta didik.
Kata kunci : filsafat humanisme, praksis.

A. PENDAHULUAN

Mengamati dan melihat praksis pendidikan yang tengah dan terus berlangsung dalam konteks otonomi daerah belakangan ini menghadirkan kekhawatiran serius pada masa depan pendidikan kita, baik dalam skala global maupun nasional. Terjadi pergeseran yang amat mendasar dalam praktik pendidikan dan visi dari sistem pendidikan sentralisasi ke desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan –di satu pihak telah memberikan keleluasaan bagi pemegang kekuasaan di daerah-daerah, dan di pihak lain memunculkan persoalan baru yang tidak saja bernuansa edukasi tetapi juga politik, ekonomi, kultural dan filosofis. Bahkan, seperti tersirat dari gagasan Surakhmad (2004) dalam Musyawarah Nasional ISPI ke V di Balikpapan, pendidikan telah kehilangan landasan filosofisnya.
11
Daerah-daerah kabupaten yang semula hanya menjadi subordinasi pusat kini menjadi pusat kekuasaan baru yang otonom. Sayangnya, pergeseran itu sepertinya tidak disertai kesiapan mental dan moral yang memadai. Akibatnya, segi-segi pragmatis lebih mengedepan ketimbang ideologis. Kalkulasi bisnis lebih menonjol dibandingkan dengan sisi mulia dari pendidikan itu sendiri untuk meningkatkan kualitas manusia menuju kedewasaan. Demikianlah, pendidikan kita telah kehilangan ruh yang hakiki dan kini berjalan di atas rel yang salah menuju arah yang salah pula.
Akibatnya, sisi humanis terabaikan sehingga dehumanisasi menjadi sebuah proses evolutif yang tidak kita sadari kehadirannya. Eksploitasi ekonomi dari satu kelompok lain menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan kita.
Penggusuran sekolah untuk dijadikan pasar swalayan, atau sentra-sentra bisnis lain, misalnya, bisa berlangsung seiring gencarnya wacana tentang kurikulum berbasis kompetensi, manajemen berbasis sekolah, otonomi daerah, mahalnya biaya pendidikan yang jelas-jelas menciptakan ketidakadilan bagi kalangan masyarakat yang tidak mampu dapat berlangsung dengan mulus tanpa dipersoalkan secara serius oleh kalangan yang semestinya bertanggungjwab atas terjadinya fenomena itu.
Ini menandakan bahwa dunia pendidikan kita memang perlu kembali pada rel yang benar sehingga proses pelaksanaan pendidikan dan pengambilan keputusan oleh pemegang kebijakan tidak akan menyimpang dari amanat tujuan pendidikan nasional. Dalam kaitan inilah landasan filsafat humanisme dapat dihidupkan kembali dan diberi semangat baru untuk mengembalikan praksis pendidikan kita agar menuju arah yang benar.
Makalah ini sama sekali tidak berpretensi memberikan solusi pada masalah pendidikan kita yang demikian kompleks dan multidimensional. Jika dari tulisan singkat ini dapat menyibakkan tentang sisi humanisme dalam pendidikan kita dan memancing diskusi lebih mendalam tentang arah yang semestinya dituju dari system pendidikan kita, maka sebagian dari tujuan penulisan ini telah tercapai.

B. LANDASAN PRAKSIS PENDIDIKAN

12
Titik tolak praksis pendidikan bermula dari keyakinan, bahwa manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain. Dari sejak seorang bayi lahir pada hakikatnya ia memerlukan perlakuan dan bantuan orang lain. Tanpa bantuan ibu atau orang dewasa lain yang mengasuhnya, bayi itu tidak akan dapat memilki kecakapan hidup yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya kelak.
Dari perspektif filosofis, keyakinan itu mengisyaratkan adanya pusat perhatian yang utama: manusia (human) dengan segala potensi kemanusiaannya (humanities) yang masih memerlukan proses pendidikan. Dengan berlandaskan pada keyakinan seperti ini berarti bahwa pendidikan haruslah diupayakan untuk membimbing, membantu, atau memperbaiki tingkah laku manusia ke arah tingkah laku yang selaras dengan norma-norma yang berlaku secara umum. Dalam konteks general education, pendidikan diarahkan untuk membimbing manusia menjadi warga Negara yang baik. Karena itulah, praksis pendidikan berlandaskan humanisme, hendaknya ditujukan pada pembentukan tingkah laku peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik, menjadi makhluk sosial yang beretika.
Mendidik manusia menjadi warga Negara yang baik bukanlah pekerjaan mudah. Ia memerlukan pemahaman yang seksama pada hekekat kemanusiaan dan hakikat pendidikan. Dengan kata lain, kaitan antara filsafat humanisme dan pendidikan haruslah dipahami agar kegiatan pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan utama pendidikan, yakni meningkatkan kualitas kemanusiaan yang sejalan dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
Kaitan antara aliran filsafat humanisme dengan general education amat erat. Pengembangan konsep pendidikan umum banyak berlandaskan pada prinsif-prinsif humanisme. Dengan kata lain, aliran filsafat humanisme hingga saat sekarang ini masih dijadikan sebagai dasar pengembangan dalam konteks itu. Disamping itu, secara konseptual dan praktical, konsep-konsep yang diajukan Islam. Istilah Kaffah (QS 2 : 208) misalnya pada hakikatnya merupakan manusia utuh (integrated man / whole person) yang sering ditemukan dalam wacana pendidikan umum, namun dimaknai dalam perspektif Agama.
Encyclopedi of education (1971) Volume 7 (122-123) secara jelas menunjukkan landasan humanisme itu : pendidikan merupakan bagian dari program pendidikan yang diupayakan untuk mengembangkan keterampilan umum dan sikap yang diperlukan untuk fungsi individual yang efektif, baik selaku anggota keluarga maupun warga Negara. Pendekatan yang dipergunakan bertumpu pada pendekatan pengetahuan, penanaman disiplin mental dengan tidak mengabaikan perhatian pada perlunya pendekatan seni yang bebas. Konsep pendidikan nasional untuk menciptakan “manusia seutuhnya” pun dilandasi oleh wawasan humanisme.




C. SINOPSIS FILSAFAT HUMANISME

Filsafat humanisme dapat dikatakan sebagai paham filsafat yang mendasarkan wawasannya pada aspek-aspek perikemanusiaan. “Humanisme erat kaitannya dengan bentuk dasar humane, yang bermakna ‘perikemanusiaan’. Sedangkan humanist dapat dijelaskan sebagai orang yang menganut paham humanisme.
Merujuk pada American Humanist Association (1968) yang berwawasan naturalisme humanistic, humanisme merupakan cara hidup berdasarkan kemampuan-kemampuan manusia, sumber-sumber alam, dan masyarakat. Seorang humanis memandang manusia sebagai produk dari ala mini dan tidak mengakui akal kosmos (jagad besar), tujuan, dan kekuatan supernatural. Humanisme mencerminkan suatu sikap dan keyakinan yang menuntut penerimaan tanggung jawab bagi kehidupan manusia di dunia ini dengan mementingkan sikap saling menghormati dan mengakui kesalingtergantungan antar manusia.
Berbeda dengan aliran materialisme mekanik yang secara ketat mendasarkan wawasannya pada determinisme yang cenderung menganggap segala sesuatu tunduk kepada hukum-hukum ilmu pengetahuan fisika, aliran naturalisme humanistic menekankan pada pengkajian secara khusus pada kepentingan dan aspirasi manusia dalam konteks lingkungan sosialnya.
Istilah humanisme pertama kali diterapkan pada teori tentang kebenaran oleh Schiler (Keraf, 1987). William James, tokoh pragmatisme, menyebut filsafat yang diketengahkannya sebagai filsafat humanisme. James berpendapat bahwa semua kebenaran merupakan produk manusia. Dengan demikian, kebenaran merupakan “persesuaian” antara ide dengan realitas.
Faktor manusia amat menentukan dalam verifikasi suatu ide. Relitas tidak pernah ada dengan sendirinya. Ide yang berhasil mengarahkan kita pada realitas sebenarnya yang dianggap benar. Oleh karena itulah, realitas harus dipahami dalam kaitan dengan tujuan kita yang manusiawi. Manusia bertanggung jawab pada realitas dan dunianya.
Menurut para penganut humanisme, dunia yang kita diami ini belumlah selesai, dalam arti masih terbuka kemungkinan campur tangan manusia untuk memaknai, mengatur, dan mengolahnya. Manusia itu sendiri adalah makhluk yang belum selesai. Ia masih perlu di didik untuk mengembangkan kualitas kemanusiannya.
Di dalam humanisme, seperti dikemukakan Stevick (1991: 23-4) terdapat lima aspek penekanan yang menunjukkan kualitas insani yang membedakannya dari binatang. Yang pertama, perasaan (feelings) meliputi segenap emosi pribadi maupun apresiasi estetis. Aspek ini cenderung menolak segala sesuatu yang merusak maupun yang menghambat penikmatan estetis.
14
Yang kedua, relasi sosial (social relations) merupakan satu sisi humanisme yang mendorong ke arah jalinan kerjasama, perkerabatan serta menentang kecenderungan yang mereduksi tergalangnya jalinan sosial tersebut.
Yang ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) merupakan aspek humanisme yang menyepakati perlunya control dari masyarakat, kritik dan koreksi serta mengutuk siapa saja yang mengingkarinya.
Aspek keempat, intelek (intellect), melibatkan pengetahuan, pemikiran dan pemahaman. Aspek ini membongkar segala sesuatu yang mempengaruhinya dengan membiasakan berlatih membebaskan pikiran, serta menyelidiki segala sesuatu yang tidak diuji secara intelektual.
Aspek kelima, aktualisasi diri (self-actualization) merupakanpenelusuran kesadaran dari kualitas kesejatian diri yang paling dalam. Aspek ini meyakini bahwa konformitas menggiring ke arah perbudakan, karena itulah pengejaran keunikan membawa ke arah pembebasan.
Kelima aspek ini pada hakikatnya bersifat terintegrasi dan saling bertumpang tindih satu sama lain. Jika kelima aspek humanisme di atas dikombinasikan, maka dapatlah dikatakan bahwa pencapaian citarasa keindahan dan perwujudan motif-motif altruistic (HI dan H2) bisa mengundang masalah. Setiap penghampiran terhadap pertanggungjawaban(H3) meletakkan landasannya pada pengetahuan, pemikiran dan analisis logis (H4).
Penghampiran semacam ini hanya mengandalkan intuisi sebagai sumber hipotesis yang hendak diuji, dan di atas semua itu: pengutamaan untuk melatih pertimbangan yang logis sehingga menghindari setiap sumber pengetahuan religius atau sebaliknya, yang tidak tersedia pada diri setiap orang. Pengejaran keunikan (H5) barangkali bias mengiringi maupun tidak pada setiap unsur humanisme yang lainnya.

D. PENGAJAR YANG HUMANIS

Dalam berbagai pengertian tentang pendidikan umumnya dikemukakan bahwa pendidikan itu berfungsi menyiapkan pembelajar untuk mencapai kehidupan yang memuaskan, baik sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, sebagai seorang pekerja, maupun sebagai seorang warga Negara.
Dalam konteks itu dapat dikatakan bahwa setidaknya terdapat lima fungsi pengajar humanis yang pokok, yakni (1) fungsi kogfnitif (the cognitive function), (2) fungsi pengelolaan kelas (the classroom management function), (3) fungsi penentu tujuan-tujuan praktis (practical goals), (4) fungsi pribadi maupun antar pribadi (the personal or interpersonal function), dan (5) fungsi penebar keramahan dan antusiasme (the warmith and anthusiasm function).
Fungsi yang pertama mensyaratkan pemilikan pengetahuan tentang isi pendidikan yang sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan, baik yang berorientasi pada siswa maupun isi pelajaran. Fungsi ini merupakan implikasi langsung dari salah satu aspek humanisme, khususnya aspek intelektual. Setiap pengajar harus memiliki pengetahuan ini, sehingga dapat memberikannya kepada siswa.
Berkenaan dengan fungsi kedua, para siswa dan masyarakat senantiasa mengharapkan tanggung jawab dalam pemanfaatan waktu di dalam kelas. Para siswa menyandarkan diri pada pelatihan dan pengalaman para pengajar serta rencana pelajaran, bahan-bahan, dan juga teknik pengajaran dalam penyampaian materi pelajaran.
Fungsi ketiga berkaitan dengan tujuan-tujuan yang telah dimiliki oleh para siswa dan masyarakat. Sang pengajar diharapkan mampu memberikan petunjuk praksis dalam pedoman pengajarannya. Tujuan pendidikan umum, merujuk pada Phenix (1964: 8) adalah “development of whole person”; pengembangan manusia seutuhnya. Secara khusus, manusia seutuhnya yang dimaksudkan oleh Phenix adalah manusia yang memiliki kompetensi dasar yang bisa dikembangkan, yang mencakup enam bidang makna : simbolik, empirik, estetik, sinotik, etik dan sinoptik.
Sebagai pengajar yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang diharapkan oleh siswa, sang pengajar diharapkan mampu menggalang ataupun menata irama belajar di dalam kelas yang sesuai dengan kebutuhan pribadi maupun antarpribadi peserta belajarnya. Suasana yang tercipta amat menentukan terpenuhi atau tidak kebutuhan dan ikatan emosional di dalam kelas. Penciptaan suasana yang kondusif bagi keleluasaan jalinan antarpribadi merupakan fungsi keempat.
Fungsi yang terakhir masih bertalian erat dengan fungsi keempat, yakni fungsi pribadi dan atau antarpribadi. Fungsi ini bertujuan menciptakan kehangatan, keramahan, dan antusiasme yang bermanfaat untuk memberikan kebebasan kepada siswa mengembangkan kemampuan kemanusiaannya. Fungsi kelima ini, seperti dinyatakan oleh Nunan (1991: 235) adalah yang terpenting dari semuanya.
Pengajar yang humanis tentunya harus menghayati dan menerapkan pendekatan humanistik (humanistic approach) untuk mengajarkan isi pendidikan sesuai dengan potensi dasar siswa. Istilah humanistic approach kadangkala dipergunakan bagi ide-ide yang mendasari metode yang dipergunakan. Adapun karakteristik yang penting dikembangkan menurut pendekatan ini adalah : (1) pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, (2) penumbuhan kesadaran diri dalam pemahaman terhadap orang lain, (3) kepekaan perasaan dan emosi yang manusiawi, dan (4) keterlibatan siswa secara aktif dalam pengajaran dan dalam cara belajar yang amat diutamakan.
Dalam pandangan Islam, secara kodrati kedudukan guru sama seperti kedudukan orang tua mendidik anaknya. Berdasarkan keutamaan ilmu, guru ditempatkan setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. Sedangkan berdasarkan syarat-syarat yang harus dimilikinya, guru harus ahli dan berkepribadian muslim.
Syarat-syarat kepribadian guru dalam pandangan Islam telah banyak dikemukakan cendekiawan muslim. Al-Ghazali (Zainudi, 1999 : 61) menyebutkan bahwa guru memiliki tugas yang sangat mulia. Tugas mulia ini dimanipestasikannya dalam memberikan kasih sayang terhadap anak didik dan menjadi teladan dalam segala tindakannya. Ia mengemukakan 11 syarat yang harus dipenuhi guru sebagai pendidik, antara lain : sabar, sopan, tidak takabur dan menampilkan hujjah yang benar. Pandangan serupa dikemukakan Zakiah Darajat (1980 : 44) yang merumuskan syarat-syarat guru ke dalam 17 muatan, antara lain : demokratis, penyayang, sabar, memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermacam-macam.

E. MATERI DAN METODE PENGAJARAN BERWAWASAN FILSAFAT HUMANISME

Materi pengajaran yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan konsep pendidikan umum berwawasan humanisme mencakup semua hasil karya kreatif manusia dalam bidang seni, sastra dan filsafat (Faust, 1952). Secara konseptual, materi ini dapat diajarkan melalui tiga cara yang berbeda. Pertama, karya kreatif itu, misalnya novel, puisi atau drama, diperlakukan sebagai suatu peristiwa . Kedua, karya kreatif itu tidak dipandang sebagai suatu peristiwa, melainkan sebagai symbol. Ketiga, karya kreatif itu dipandang sebagai suatu konsepdi karya seni yang memiliki struktur artistik, obyek khusus yang unik, produk dari daya kreatif dan imajinatif manusia, yakni daya untuk membentuk karakter, tindakan dan peristiwa yang tidak terdapat dalam realitas yang konkret (Faust, 1952: 104-105).
Dalam pandangan Islam, materi pengajaran yang dipergunakan untuk mengembangkan konsep pendidikan umum adalah dengan cara integrasi materi pelajaran. Argumentasinya adalah bahwa manusia merupakan bagian dari makrokosmos yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Manusia harus mempu menjalin hubungan harmonis dengan sesama, lingkungan dan Tuhan. Disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia merupakan sarana untuk memahami ketiga wilayah lingkungan tersebut dalam rangka ibadah.
Metode yang dapat dipergunakan dapat ditentukan atas dasar dua faktor, yakni (1) konsepsi tujuan pendidikan yang berlandaskan humanisme serta konsepsi dari sifat humanitas dan (2) lingkungan pendidikan formalnya. Pada dasarnya, metode pengajaran yang lebih mendayagunakan kemampuan kreatif manusia dapat dipilih dan diterapkan dalam kegiatan pendidikan yang berwawasan humanisme.

F. LINGKUNGAN SEBAGAI PERSEMAIAN POTENSI MANUSIA

Pembentukan tingkah laku dan kualitas manusia ke arah yang semakin meningkat dan lebih baik merupakan sentral perhatian pendidikan. Meskipun penekanannya pada faktor manusia, faktor lingkungan juga tidak dapat diabaikan.
Sebelum abad sembilan belas telah dianut anggapan bahwa lingkungan semata-mata adalah ruang lingkup yang pasif yang sedikit sekali pengaruhnya pada pembentukan tingkah laku manusia dan seluruh makhluk yang terdapat di alam ini. Lingkungan hanya dianggap sebagai tempat dari organisme yang hidup untuk berkembang biak dan mati. Kesadaran akan pentingnya faktor lingkungan dalam pembentukan tingkah laku manusia baru muncul belakangan setelah munculnya teori seleksi alam sekitar seabad yang lalu.
Manusia tidak berada di luar lingkungannya. Tindak pendidikan berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu. Dipandang dari sudut pandang pendidikan, yang pada hakikatnya membina, membimbing, bilamana perlu mengubah tingkah laku manusia, peranan lingkungan amatlah pentingnya. Setidaknya ada tiga alasan mengapa lingkungan perlu diperhitungkan dalam praksis pendidikan. Pertama, pendekatan lingkungan mengakui tingkah laku manusia sebagai subjek tersendiri yang tidak hanya merupakan gejala mental. Kedua, diantara unsur-unsur keadaan mental manusia yang diharapkan, terdapat ranah yang sudah ditentukan, misalnya manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, berbudi pekerti luhur, berkepribadian dan memiliki semangat kebangsaan. Ketiga menangani persoalan lingkungan yang mempengaruhi tingkah laku manusia relative lebih memungkinkan ketimbang menangani keadaan mental yang abstrak, yang mempengaruhi tingkah laku.
Dalam perkembangannya sekarang, seperti yang diketengahkan oleh DePorter (1992 : 2) dalam Quantum Learning, lingkungan menjadi amat menentukan keberhasilan siswa. Penciptaan lingkungan belajar yang menyenangkan dimulai dengan memanfaatkan lingkungan fisik, tanaman-tanaman yang menyegarkan, seni, dan musik ruangan belajar ditata sedemikian rupa sehingga menyenangkan bagi siswa dan guru. Selain itu, lingkungan emosional juga dibangun dengan memanfaatkan para pengajar yang dapat menciptakan suasana akrab dengan para siswanya. Dengan lingkungan kondusif, terbukti bahwa daya kemanusiaan siswa dapat dikembangkan secara lebih manusiawi dan menyenangkan, yang memberikan hasil yang lebih baik daripada lingkungan belajar yang penuh dengan tekanan.
Demikianlah, faktor lingkungan perlu dipertimbangkan dalam pengembangan potensi manusia. Praksis pendidikan sudah semestinya memperhitungkan pula faktor lingkungan ini mengingat fungsinya sebagai lahan subur untuk menumbuhkan segenap potensi manusia.

G. PENUTUP

Di dalam humanisme terdapat lima aspek penekanan yang menunjukkan kualitas manusia yang membedakannya dari binatang. Penekanan pada aspek perasaan, relasi sosial, tanggung jawab, intelek dan aktualisasi diri merupakan dimensi kemanusiaan yang amat diperhatikan dalam humanisme. Kelima aspek ini, merupakan kebutuhan potensi manusia yang amat ditonjolkan dalam humanisme sehingga cenderung mengabaikan dimensi lain yang turut memberikan warna pada praksis kehidupan, misalnya dimensi ruang dan dimensi waktu.
Penonjolan pada aspek kemanusiaan dengan demikian bukannya tanpa resiko. Akibat yang terutama adalah pemujaan yang berlebihan pada potensi alamiah dan daya pikir ilmiah yang serba sistematis, terkontrol dan bisa diverifikasi. Dengan demikian, sains modern yang hanya mengandalkan rasionalitas dan empirisme seakan-akan menjadi tumpuan harapan dalam pengungkapan segala fenomena yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Tentunya, pemutlakan pada dimensi manusia dengan segenap potensi kemanusiaannya itu tidak sepenuhnya berterima. Manusia adalah makhluk multidimensi yang harus dipandang dalam perspektif multidimensi juga.
Dalam pendidikan yang bernafaskan humanisme, karakteristik kemanusiaan yang penting untuk dikembangkan adalah: (1) pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, (2) penumbuhan kesadaran diri dalam pemahaman terhadap orang lain, (3) kepekaan perasaan dan emosi yang manusiawi, dan (4) keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pengajaran dan efisien dalam cara belajarnya amat diutamakan. Karakteristik kemanusiaan yang penting untuk dikembangkan adalah: (1) pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, (2) penumbuhan kesadaran diri dalam pemahaman terhadap orang lain, (3) kepekaan perasaan dan emosi yang manusiawi, dan (4) keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pengajaran dan efisien dalam cara belajarnya amat diutamakan. Karakteristik kemanusiaan tersebut secara prinsifil sesuai dengan pandangan Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Abdullah, A.S. 1990. Teori-teori pendidikan berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta : Rineka Cipta.
DePorter, Bobby. 1992. Quantum Learning. New york Dell Publishing
Faust, Clarence H. 1952. « Humanisme in General Education » dalam Nelson B. Henry, Fifty-first yearbook of the National Society for the Study of Education. Chicago-Illionis : The University of Chicago Press.
Henry, Nelson B. 1952. Fifty-first Yearbook of the National Society for the Study of Education. Chicago-Illinois : The University of Chicago Press.
Keraf, S. Pragmatisme Menurut William James. Yogyakarta : Kanisisus.
Mc.Connel, T.R. 1952, »General Education : An Analysis » dalam Nelson B. Henry, Fifty-first Yearbook of the National Society for the Study of Education. Chicago-illionis : The University of Chicago Press.
Phenix, Philip H 1964. Realms of Meaning. A Philosophy of the Curriculum for General Education. New York McGraw-Hill Company.
Stevick, Earl W. 1991. Humanism. Oxford : Oxford University Press.
Surakhmad, Winarno. (2004). Filosofi Pendidikan : Menemukan Kembali Landasan Yang Hilang. Balikpapan, Musda ISPI.
Titus, Harold H et. Al. (1979). Living Issues in Philosophy of Sciences. California : Wadsworth Publishing Company.



CURRICULUM VITAE

Nama : ASEP NURJAMAN
Alamat : Jl. Bungbulang-garut, Kp Sodong RT 01 RW 10 Desa Panyindangan Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut.
Pendidikan Terakhir : Magister (S-2) Program Studi Pendidikan Umum Konsentrasi Filsafat P{endidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Contact Person : HP 081321787722

Pengalaman Pekerjaan :
1. Guru Mts Al-Ashdariyah Pakenjeng tahun 1999 s.d. 2001
2. Guru MA. Antassalam Pakenjeng tahun 1997 s.d. sekarang
3. Kepala Sekolah MA. Antassalam Pakenjeng tahun 2006 s.d. sekarang
4. Dosen FAI UNIGA tahun 2000 s.d. sekarang
5. Ditugaskan sebagai Pemantau Pelaksanaan Pendidikan Keterampilan oleh Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI di Kabupaten Bogor tahun 2001
6. Ditugaskan sebagai Pemantau Pelaksanaan Pendidikan Keterampilan oleh Direktorat Pendidikan Lanjuytan Pertama Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI di Kabupaten Karawang tahun 2003
7. Koordinator Fasilitator Kacamatan (FK) Kab. Garut pada Program PKPS BBM-IP Departemen Pekerjaan Umum tahun 2005

PARADIGMA PENDIDIKAN HUMANISTIK

PARADIGMA PENDIDIKAN HUMANISTIK
Oleh : Wahyu Hidayat, MA
Abstrak

Manusia merupakan pribadi yang unik. Keunikannya dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sama. Bahkan anak kembar sekalipun ternyata mempunyai kekhasan masing-masing, baik dalam bentuk fisik maupun psikisnya
Setiap manusia memiliki potensi yang berbeda. Dalam kontek ini, pendidikan sebagai usaha untuk memanusikan manusia berfungsi mengantarkan manusia untuk menemukan jati dirinya. Namun dalam kenyataan kita sering melihat praktek pendidikan membonsaikan manusia. Carut-marut pendidikan yang multi komplek melahirkan dehumanisasi anak manusia. Pendidikan hendaknya kembali ke khithah humanisasinya yang berpangkal dari nilai-nilai transenden yang luhur sehingga dapat menghasilkan pribadi-pribadi utuh yang lebih manusiawi, yaitu : individu yang tinggi secara intelektual, gemar beramal, anggun dalam bermoral sebagai perwujudan dari potensi kodrati yang dimilikinya.
Kata Kunci : Pendidikan, potensi manusia dan humanis

A. PENDAHULUAN

Secara kodrati manusia merupakan individu yang penuh dengan bakat terpendam. Ia memiliki potensi yang luar biasa, karenanya harus mendapat kesempatan luas untuk berkembang. Pendekatan ini yang sering dilakukan oleh para filosof ketika memikirkan hakekat manusia. Sebagai makhluk unik, manusia berada pada posisi antara hewan dan malaikat, ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu syaitoniah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur). Manusia bisa diposisikan sebagai hewan bahkan lebih rendah dari hewan ketika hanya memperturutkan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Begitupun sebaliknya, manusia akan menempati posisi yang jauh lebih mulia dari malaikat ketika ia sukses melaksanakan tugas kehidupannya yaitu sebagai wakil Allah di muka bumi ini (Khalifatullah) dan sebagai hamba Allah (’abdulllah).

Allah berfirman :
øŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ߉šøÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡o„ur uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s% þ’ÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ

Artinya :Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS al-Baqarah : 30)
Ayat di atas memberikan isyarat, betapa terperanjatnya malaikat ketika Allah mau menjadikan Manusia ebagai Khalifah Allah di muka bumi. Protes keras Malaikat disampaikannya kepada Allah dengan memberikan argumentasi tentang keburukan sipat manusia yakni suka membuat keruksakan dan mengalirkan darah. Bahkan menurut Malaikat bahwa malaikatlah yang lebih cocok menjadi khalifah karena track recordnya selalu bertasbih dan mensucikan-Nya.
Di samping itu manusia mempunyai kewajiban beribadah kepada Allah dalam kapasits dirinya sebagai hamba Allah (’abdulllah). Allah berfirman :

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku ( QS. Adz- Dzariyat : 56)
Sebagai makhluk yang dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya yang multi-unik; sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak sosial; sebagai khalifah ia dituntut untuk mereka bentuk dan memakmurkan alam ini agar lebih harmoni; sebagai sebagai hamba Allah, ia harus menunaikan kewajiban-kewajiban untuk bersujud dan menyembah Sang Pencipta.
Untuk meyadarkan manusia agar ia tahu dan mau melakukan tugas-tugas kemanusiaan seperti di atas maka pendidikanlah jawabannya. Namun sayangnya, kita mendapati kenyataan yang kurang menggembirakan ketika pendidikan hanya difahami sebagai transfer of knowledge saja yang hanya menekankan pada aspek intelektual semata. Pendidikan cenderung hanya menekankan pada pengembangan potensi cipta (otak kiri), dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa (otak kanan). Jika hal ini berlanjut terus maka hanya akan menjadikan manusia yang cerdas intelektualnya tetapi tidak dapat menampilkan pribadi manusia yang manusiawi.

B. DEHUMANISASI PENDIDIKAN

Orang akan cenderung bersikap emosional ketika memperbincangkan persoalan pendidikan, misalnya yang terkait dengan rendahnya mutu pendidikan, masalah guru, masalah kenakalan remaja, kriminalitas pelajar, rendahnya anggaran pendidikan, dan sebagainya, yang seringkali orang menyalahkan dunia pendidikan (sekolah) dan guru tanpa berupaya memahami apa pendidikan itu, siapa yang bertanggung jawab, mengapa, bagaimana? Padahal kalau sudah dikupas masalah pendidikan itu akan nampak begitu luas karena menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Masih banyak persoalan yang menjadi beban pengelolaan pendidikan dan pengajaran. Mulai dari beban ajar yang terlalu banyak dan padat, sampai pada profesionalitas guru yang masih belum memadai dan penghargaan finansial terhadap para pendidik yang masih sangat rendah. Dalam bahasan ini masalah yang terkait erat adalah standar keberhasilan belajar yang masih menekankan bidang intelektual dan sekaligus sentralisasi standar mutu (UN: Ujian Nasional), yang mengakibatkan masyarakat terjerembab pada keyakinan bahwa hasil UN adalah satu-satunya ukuran keberhasilan peserta didik dan juga sekolah sebagai lembaga pendidikan. Singkatnya sistem evaluasi dan UN yang diselenggarakan masih mengkerdilkan peserta didik sebagai pribadi manusia dan sekolah sebagai lembaga pendidikan, menjadi satu aspek saja yaitu kecerdasan yang diukur oleh UN (kasarnya soal pilihan ganda atau benar salah).
UN meninggalkan catatan yang kurang baik. Penyelanggara sekolah , peserta didik bahkan termasuk masyarakat secara umum seringkali berpikir instan, mau cepat. Mereka mau mencapai target nilai memadai sehingga bisa dinyatakan lulus walaupun dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan nurani. Dari mulai pembentukan tim sukses ujian, pengkondisian pengawas independen, sampai bagi-bagi jawaban kepada siswa. Sehingga yang ujian ternyata bukan hanya siswa tetapi juga para guru turut menjawab soal untuk menolong agar siswanya lulus UN.
Sekolah yang seharusnya mengajarkan tentang kejujuran, budi pekerti, jiwa kesatria, bertanggung jawab; malah mempertontonkan tindakan yang bukan hanya tidak sesuai dengan cita-cita luhur pendidikan malah bertentangan dan merendahkan nilai kemanusiaan secara universal.
Kita cukup sedih dan pilu, di samping persoalan rendahnya nilai kejujuran seperti yang diungkapkan penulis di atas, institusi pendidikan kitapun memiliki catatan kelabu.
Sebagai bahan renungan penulis uraikan contoh beberapa kasus, di antaranya :
1. Masyarakat Kabupaten Garut baru-baru ini dihebohkan dengan peristiwa yang menimpa seorang siswa salah satu SLTA di kota Garut. Siswa tersebut dipukuli guru yang menyebabkan ia terbaring dirumah sakit. Sang gurunyapun terpaksa harus berurusan dengan aparat kepolisian untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2. Dalam catatan Media Indonesia (26/04/07) yang bertajuk ujian nasional meninggalkan noda. Di Jember, siswa SMAN 2 Tanggul mengamuk lantaran guru pengawas mereka dinilai overacting dan mengganggu konsentrasi. Pengawas mereka, Sri Handayani dan Sutiyono, adalah guru SMAN 1 Tanggul. Seusai ujian, siswa kelas tiga SMAN 2 itu mendatangi SMAN 1. Mereka memburu Sri Handayani sembari melempari sekolah itu. Akibatnya, kaca jendela sekolah tersebut pecah (Media Indonesia, 20/4). Bahkan, media lain melaporkan siswa itu sempat memukul Sri Handayani.
3. Amuk serupa nyaris terjadi di Ponorogo, Jawa Timur, gara-gara seorang guru pengawas menempeleng seorang siswa yang diketahui berusaha bertanya kepada temannya. Begitu pula di Sukoharjo, Jateng, seorang siswa mengamuk dengan melempari sekolahnya dan di Tasikmalaya siswa memblokade jalan menuju sekolah. Semua itu disebabkan kekecewaan para siswa atas tingkah laku guru pengawas.

Fakta ini sungguh sangat menyedihkan, ternyata kekerasan bukan hanya terjadi di terminal bus dan terminal angkot tetapi juga terjadi di institusi pendidikan. Institusi pendidikan yang seharusnya mengajarkan kasih sayang, menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan malah mempertontonkan tindakan kekerasan yang bukan saja bertentangan dengan tujuan pendidikan yang amat luhur dan mulia tetapi juga merendahkan dan menginjak-nginjak nilai-nilai kemanusiaan.
Kecurangan ujian nasional, kekerasan antarsiswa didik, dan intimidasi terhadap etika profesi pendidik menjadi potret-potret besar refleksi pendidikan kita. Banyak institusi pendidikan yang memeluk efisiensi ekonomis, banting setir menjadi semacam perusahaan penyedia birokrat elite masyarakat dan kuli kerja. Akibatnya, institusi pendidikan gagal melihat kemungkinan bahwa proses pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam humanisasi hidup publik.
Pendidikan tradisional berparadigma ekonomis. Seluruh proses pembelajaran melulu bertujuan demi pencapaian kompetensi ekonomis. Standarisasi kurikulum, sertifikasi kelulusan, sertfikasi guru, kenaikan angka akademik, dan kriteria evaluasi pendidikan diletakkan dalam kerangka kompetensi ekonomis. Pembelajaran siswa didik yang semula menjadi aktivitas kolektif berubah menjadi aktivitas individual. Sosok pendidik dalam diri guru menghilang dan digantikan dengan sosok guru sebagai tukang instruksi di kelas.
Dengan demikian, kini sudah saatnya pendidikan yang kita selenggarakan bisa membimbing siswa dan masyarakat manusia pada umumnya dengan cara-cara yang manusiawi, bukan dengan cara kekerasan, intimidasi, penghinaan dan pembunuhan karakter siswa. Pendidikan harus memperlakukan manusia dengan cara-cara kemanusiaan agar dia bisa hidup sebagai manusia sejati.

C. PENDIDIKAN HUMANIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam persfektif Islam, paradigma pendidikan seharusnya mengacu pada dua dimensi, yakni dimensi ketuhanan theocentris (hablum minallah) dan dimensi kemanusiaan anthropocentris (hablum minannas). Keseimbangan dalam dua hubungan ini akan berdampak positip terhadap posisi manusia dalam memerankan tugas kemanusiaannya. Bila tidak seimbang maka ia akan mengakibatkan keruksakan dan kehinaan bagi manusia itu sendiri.
Allah Swt Berfirman :
ôMt/ÎŽàÑ ãNÍköŽn=tã èp©9Ïe%!$# tûøïr& $tB (#þqàÿÉ)èO žwÎ) 9@ö6pt¿2 z`ÏiB «!$# 9@ö6ymur z`ÏiB Ĩ$¨Y9$#
Artinya : Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (QS al-Imran : 112)


Proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat. Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya.
Dimensi theocentris (hablum min Allâh) dan anthropocentris (hablum min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Menurut Abdur Rahman Assegaf, dkk (Ditpertais, 2002), ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan.
Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan merenung. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.
Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia memerlukan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilahkan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
Faktor yang penting dalam pendidikan sedemikian itu ialah upaya memunculkan dan menumbuhkan tataran kesadaran dalam diri manusia, terutama pada anak didik yang sedang mengalami pertumbuhan dan pembentukan diri. Hal ini akan membawa anak didik mengenal, memahami dan mengakui secara realistis kenyataan dirinya yang multidimensional. Keadaan seperti itu akan tercapai bila ada iklim kebebasan bagi anak. Iklim kebebasan yang dimaksud ialah keadaan di mana anak didik dengan leluasa berkreasi dan menumbuhkembangkan segala potensi yang dimilikinya. Kebebasan ini bukan kebebasan yang seenaknya, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Dari uraian di atas tampak sekali nilai luhur pendidikan yaitu sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya. Dasar pendidikan adalah kasih sayang, cinta kasih yang tulus. Kalau guru dan orang tua sudah kehilangan kasih sayang kepada murid dan anaknya, maka saat itulah pendidikan mulai kehilangan jatidirinya, karena Pendidikan humanis sangat menghormati harkat dan martabat si anak, termasuk apa yang ada dalam diri si anak. Artinya memberi kemerdekaan kepada anak didik untuk mengembangkan diri secara penuh. Sementara itu pendidik hanya berperan untuk mendidik, menuntun dan memberikan suasana serta memfasilitasi dan memotivasi mereka supaya dapat berkembang sebagaimana mestinya.
Pendidikan pembebasan yang ditawarkan pendidikan humanistik adalah mencari sintesis dialektik atau keseimbangan antara pemberian kemerdekaan kepada anak untuk menentukan sendiri apa yang ia senangi (lebih tepat: ia diperhatikan) dan disiplin, binaan dan pengarahan yang sebenarnya juga diharapkan si anak.
Tujuan pendidikan diarahkan untuk menumbuhkembangkan anak didik menjadi manusia yang utuh (insan kamil), hal itu sebenarnya merupakan hak setiap manusia untuk mendapatkannya. Lewat pendidikan anak didik ditumbuhkembangkan daya kognitifnya, perasaan maupun potensi yang ada dalam dirinya. Jika anak didik telah dapat meningkatkan kualitas pribadi maka ia memiliki tanggung jawab sosial.
Pendidikan dalam Islam sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga pendidikan yang dijalankan harus mendudukan manusia dalam posisinya sebagai manusia seperti yang digambarkan Allah, yakni ahsana taqwim. Seperti dalam firman-Nya:

ô‰s)s9 $uZø)n=y{ z`»¡SM}$# þ’Îû Ç`¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu‘ Ÿ@xÿó™r& tû,Î#Ïÿ»y™ ÇÎÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ

Artinya: Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?

Ayat ini mengisyaratkan pesan pendidikan yang amat sangat berharga yakni untuk menjaga kontinuitas manusia dalam posisi ahsana taqwim maka pendidikan keimanan merupakan dasar dalam aktualisasi amal soleh untuk berbuat yang terbaik dalam menjalankan tugas kemanusiaan di muka bumi.


Pendidikan seharusnya mampu mengantarkan manusia pada untuk memahami siapa dirinya? Dari mana berasal? Akan pergi kemana? Dan apa yang perlu dibuat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas maka pendidikan harus diarahkan pada beberapa hal beriikut ini, yaitu :
1. Manusia yang menyadari ada kekuatan yang maha agung yang mengatur hidup manusia.
2. Manusia yang memahami dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai manusia
3. Manusia yang memahami dan memanfaatkan potensi dirinya
4. Manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia
5. Manusia yang menghargai manusia lain
6. Terimalah anak dengan segala kekurangan dan kelebihannya
7. Tumbuhkan rasa percaya diri dan semangat (memotivasi) anak
8. Jangan memaksakan kehendak, tanpa dipaksa indivvidu akan bergerak untuk memenuhi kebutuhannya
9. Ukuran keberhasilan tiap anak berbeda-beda
10. Berilah anak kebebasan yang disertai tanggungjawab serta kasih sayang (ajrih asih).
D. MODEL PEMBELAJARAN HUMANISTIK
Dari beberapa literatur pendidikan sebagaimana yang dikutip oleh Abdur Rahman Assegaf, dkk (Ditpertais, 2002), ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
1. Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.

2. Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.

3. Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.

4. Quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.

5. Quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).

6. The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).

Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

E. PENUTUP
Setiap anak manusia yang terlahir ke dunia ini adalah titipan Illahi yang sangat unik. Ia terlahir dengan membawa anugerah Tuhan yang berupa potensi sebagai bekal untuk melaksanakan tugas kehidupannya, yaitu : sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil ard) dan hamba Allah (’abdullah).
Pendidikan seharusnya dapat menggali potensi tersebut dan mengembangkannya sehingga seorang manusia menjadi dirinya untuk menghadapi berbagai problema kehidupan di alam ini.
Dengan demikian, setiap anak tidak boleh diperlakukan secara seragam. Sekolah hendaknya membantu siswa dalam proses menjadi dirinya sendiri, sehingga bisa mengantarkan manusia pada kebahagiaan hidup yang hakiki, yakni hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Insya Allah.


DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, Abd. Rachman, dkk, Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan, (penelitian), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp.
Boisard, Marcel A., 1980, Humanisme Dalam Islam, diterjemahkan oleh H.M. Rasyidi dari judul asli l’ Humaniseme de l’Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hegell, A & Newburn, T., 1996, “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative School Children”, dalam Pastoral Care, 14.
Hidayat, Wahyu, 2003. Pola Pengembangan Fitrah Beragama (Thesis), Kuala Lumpur : Universiti Malaya.
Kompas, 5/6/2007.
Mas’ud, Abdurrahman, 2003. Menuju Paradigma Islam Humanis. Gama media: Jogjakarta.
Media Indonesia, 26/04/07, Ujian nasional meninggalkan noda.
Metro TV , 2 Desember 2007, Editorial Pagi Media Indonesia
Miller, John & Seller, 1985. Curriculum Perspectives and Practice. Longman : New York.
Parkay, W. Forrest, 2006. Curriculum Planning : A Contemporary Approach. Anctil: New York.
Reks FM Radio, 12 April 2008. Bianglala pagi
Suwariyanto, Theodorus, 1998, The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
Tilaar, H.A.R., 2006, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung : Rosda Karya.







PENJELASAN ISTILAH

1. Transfer of knowledge adalah proses pemindahan pengetahuan
2. Humanisasi adalah merupakan proses pemanusiaan manusia dengan mengacu pada prinsif-prinsif kemanusiaan.
3. Dehumanisasi adalah lawan dari humanisasi yakni proses pemanusiaan yang dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsif-prinsif kemanusiaan.
4. Khalifatullah adalah wakil Allah. Istilah ini digunakan untuk mendudukan posisi manusia sebagai wakil Allah di muka bumi
5. Humanizing of the classroom adalah pengembangan belajar melalui pengkondisian kelas yang berkemanusiaan yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”.
6. Active learning adalah Belajar aktif yang merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik dalam proses belajar.
7. Quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar.
8. Quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral.
9. The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan.



RIWAYAT HIDUP


I. IDENTITAS PRIBADI

N a m a : Wahyu Hidayat, MA
Tempat/Tgl. Lahir : Garut, 04 Juni 1974
Alamat : Perum Citra Jaya Gordah No. A6 Tarogong Kidul Garut
HP : 081-322078607 E-Mail : wahyu1974@yahoo.com

II. PENDIDIKAN
Ø SD : SDN Babakan Pakenjeng Garut tamat 1987
Ø SLTP : SMPN 49 Kodya Bandung tamat 1990
Ø SLTA : MAN I Garut tamat 1993
Ø Pesantren Tarbiyah Islamiyyah Koropeak Garut 1990-1993
Ø S1 : IAIN SGD Bandung tamat 1997
Ø S2 : Universitas Malaya Malaysia tamat 2003
Ø S3 : Universitas Malaya Malaysia 2004 tidak tamat
Ø S3 : Universitas Islam Nusantara Bandung 2007 - skrg

VI. PENGALAMAN BEKERJA

Ø Guru Agama di Kuala Lumpur dari tahun 2000 – 2004
Ø Stap pengajar FAI UNIGA 2005 – sekarang
Ø Stap pengajar Fak. Tarbiyah UIN SGD Bandung dari tahun 2006 – sekarang
Ø Stap pengajar STAI Al-Musaddadiyah Garut dari 2006 – sekarang
Ø Stap pengajar STAI Siliwangi Garut dari 2005 - sekarang

VII. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Ketua Umum OSIS MAN I Garut tahun 1992
2. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) PAI UIN SGD Bandung tahun 1994
3. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 1994-1995
4. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kuala Lumpur Malaysia 2004.
5. ICMI ORDA Garut 2007-2012

VI. PENGHARGAAN/PRESTASI
Penerima Beasiswa SUPERSEMAR (S1)
Penerima Beasiswa ORBIT-ICMI (S1)
Penerima beasiswa VOT-F Kementrian Pendidikan Malaysia (S2).
Penerima beasiswa DITJEN Pendidikan Tinggi Islam DEPAG RI (S3)