Jumat, 04 Juli 2008

PARADIGMA PENDIDIKAN HUMANISTIK

PARADIGMA PENDIDIKAN HUMANISTIK
Oleh : Wahyu Hidayat, MA
Abstrak

Manusia merupakan pribadi yang unik. Keunikannya dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sama. Bahkan anak kembar sekalipun ternyata mempunyai kekhasan masing-masing, baik dalam bentuk fisik maupun psikisnya
Setiap manusia memiliki potensi yang berbeda. Dalam kontek ini, pendidikan sebagai usaha untuk memanusikan manusia berfungsi mengantarkan manusia untuk menemukan jati dirinya. Namun dalam kenyataan kita sering melihat praktek pendidikan membonsaikan manusia. Carut-marut pendidikan yang multi komplek melahirkan dehumanisasi anak manusia. Pendidikan hendaknya kembali ke khithah humanisasinya yang berpangkal dari nilai-nilai transenden yang luhur sehingga dapat menghasilkan pribadi-pribadi utuh yang lebih manusiawi, yaitu : individu yang tinggi secara intelektual, gemar beramal, anggun dalam bermoral sebagai perwujudan dari potensi kodrati yang dimilikinya.
Kata Kunci : Pendidikan, potensi manusia dan humanis

A. PENDAHULUAN

Secara kodrati manusia merupakan individu yang penuh dengan bakat terpendam. Ia memiliki potensi yang luar biasa, karenanya harus mendapat kesempatan luas untuk berkembang. Pendekatan ini yang sering dilakukan oleh para filosof ketika memikirkan hakekat manusia. Sebagai makhluk unik, manusia berada pada posisi antara hewan dan malaikat, ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu syaitoniah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur). Manusia bisa diposisikan sebagai hewan bahkan lebih rendah dari hewan ketika hanya memperturutkan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Begitupun sebaliknya, manusia akan menempati posisi yang jauh lebih mulia dari malaikat ketika ia sukses melaksanakan tugas kehidupannya yaitu sebagai wakil Allah di muka bumi ini (Khalifatullah) dan sebagai hamba Allah (’abdulllah).

Allah berfirman :
øŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ߉šøÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡o„ur uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s% þ’ÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ

Artinya :Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS al-Baqarah : 30)
Ayat di atas memberikan isyarat, betapa terperanjatnya malaikat ketika Allah mau menjadikan Manusia ebagai Khalifah Allah di muka bumi. Protes keras Malaikat disampaikannya kepada Allah dengan memberikan argumentasi tentang keburukan sipat manusia yakni suka membuat keruksakan dan mengalirkan darah. Bahkan menurut Malaikat bahwa malaikatlah yang lebih cocok menjadi khalifah karena track recordnya selalu bertasbih dan mensucikan-Nya.
Di samping itu manusia mempunyai kewajiban beribadah kepada Allah dalam kapasits dirinya sebagai hamba Allah (’abdulllah). Allah berfirman :

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku ( QS. Adz- Dzariyat : 56)
Sebagai makhluk yang dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya yang multi-unik; sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak sosial; sebagai khalifah ia dituntut untuk mereka bentuk dan memakmurkan alam ini agar lebih harmoni; sebagai sebagai hamba Allah, ia harus menunaikan kewajiban-kewajiban untuk bersujud dan menyembah Sang Pencipta.
Untuk meyadarkan manusia agar ia tahu dan mau melakukan tugas-tugas kemanusiaan seperti di atas maka pendidikanlah jawabannya. Namun sayangnya, kita mendapati kenyataan yang kurang menggembirakan ketika pendidikan hanya difahami sebagai transfer of knowledge saja yang hanya menekankan pada aspek intelektual semata. Pendidikan cenderung hanya menekankan pada pengembangan potensi cipta (otak kiri), dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa (otak kanan). Jika hal ini berlanjut terus maka hanya akan menjadikan manusia yang cerdas intelektualnya tetapi tidak dapat menampilkan pribadi manusia yang manusiawi.

B. DEHUMANISASI PENDIDIKAN

Orang akan cenderung bersikap emosional ketika memperbincangkan persoalan pendidikan, misalnya yang terkait dengan rendahnya mutu pendidikan, masalah guru, masalah kenakalan remaja, kriminalitas pelajar, rendahnya anggaran pendidikan, dan sebagainya, yang seringkali orang menyalahkan dunia pendidikan (sekolah) dan guru tanpa berupaya memahami apa pendidikan itu, siapa yang bertanggung jawab, mengapa, bagaimana? Padahal kalau sudah dikupas masalah pendidikan itu akan nampak begitu luas karena menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Masih banyak persoalan yang menjadi beban pengelolaan pendidikan dan pengajaran. Mulai dari beban ajar yang terlalu banyak dan padat, sampai pada profesionalitas guru yang masih belum memadai dan penghargaan finansial terhadap para pendidik yang masih sangat rendah. Dalam bahasan ini masalah yang terkait erat adalah standar keberhasilan belajar yang masih menekankan bidang intelektual dan sekaligus sentralisasi standar mutu (UN: Ujian Nasional), yang mengakibatkan masyarakat terjerembab pada keyakinan bahwa hasil UN adalah satu-satunya ukuran keberhasilan peserta didik dan juga sekolah sebagai lembaga pendidikan. Singkatnya sistem evaluasi dan UN yang diselenggarakan masih mengkerdilkan peserta didik sebagai pribadi manusia dan sekolah sebagai lembaga pendidikan, menjadi satu aspek saja yaitu kecerdasan yang diukur oleh UN (kasarnya soal pilihan ganda atau benar salah).
UN meninggalkan catatan yang kurang baik. Penyelanggara sekolah , peserta didik bahkan termasuk masyarakat secara umum seringkali berpikir instan, mau cepat. Mereka mau mencapai target nilai memadai sehingga bisa dinyatakan lulus walaupun dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan nurani. Dari mulai pembentukan tim sukses ujian, pengkondisian pengawas independen, sampai bagi-bagi jawaban kepada siswa. Sehingga yang ujian ternyata bukan hanya siswa tetapi juga para guru turut menjawab soal untuk menolong agar siswanya lulus UN.
Sekolah yang seharusnya mengajarkan tentang kejujuran, budi pekerti, jiwa kesatria, bertanggung jawab; malah mempertontonkan tindakan yang bukan hanya tidak sesuai dengan cita-cita luhur pendidikan malah bertentangan dan merendahkan nilai kemanusiaan secara universal.
Kita cukup sedih dan pilu, di samping persoalan rendahnya nilai kejujuran seperti yang diungkapkan penulis di atas, institusi pendidikan kitapun memiliki catatan kelabu.
Sebagai bahan renungan penulis uraikan contoh beberapa kasus, di antaranya :
1. Masyarakat Kabupaten Garut baru-baru ini dihebohkan dengan peristiwa yang menimpa seorang siswa salah satu SLTA di kota Garut. Siswa tersebut dipukuli guru yang menyebabkan ia terbaring dirumah sakit. Sang gurunyapun terpaksa harus berurusan dengan aparat kepolisian untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2. Dalam catatan Media Indonesia (26/04/07) yang bertajuk ujian nasional meninggalkan noda. Di Jember, siswa SMAN 2 Tanggul mengamuk lantaran guru pengawas mereka dinilai overacting dan mengganggu konsentrasi. Pengawas mereka, Sri Handayani dan Sutiyono, adalah guru SMAN 1 Tanggul. Seusai ujian, siswa kelas tiga SMAN 2 itu mendatangi SMAN 1. Mereka memburu Sri Handayani sembari melempari sekolah itu. Akibatnya, kaca jendela sekolah tersebut pecah (Media Indonesia, 20/4). Bahkan, media lain melaporkan siswa itu sempat memukul Sri Handayani.
3. Amuk serupa nyaris terjadi di Ponorogo, Jawa Timur, gara-gara seorang guru pengawas menempeleng seorang siswa yang diketahui berusaha bertanya kepada temannya. Begitu pula di Sukoharjo, Jateng, seorang siswa mengamuk dengan melempari sekolahnya dan di Tasikmalaya siswa memblokade jalan menuju sekolah. Semua itu disebabkan kekecewaan para siswa atas tingkah laku guru pengawas.

Fakta ini sungguh sangat menyedihkan, ternyata kekerasan bukan hanya terjadi di terminal bus dan terminal angkot tetapi juga terjadi di institusi pendidikan. Institusi pendidikan yang seharusnya mengajarkan kasih sayang, menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan malah mempertontonkan tindakan kekerasan yang bukan saja bertentangan dengan tujuan pendidikan yang amat luhur dan mulia tetapi juga merendahkan dan menginjak-nginjak nilai-nilai kemanusiaan.
Kecurangan ujian nasional, kekerasan antarsiswa didik, dan intimidasi terhadap etika profesi pendidik menjadi potret-potret besar refleksi pendidikan kita. Banyak institusi pendidikan yang memeluk efisiensi ekonomis, banting setir menjadi semacam perusahaan penyedia birokrat elite masyarakat dan kuli kerja. Akibatnya, institusi pendidikan gagal melihat kemungkinan bahwa proses pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam humanisasi hidup publik.
Pendidikan tradisional berparadigma ekonomis. Seluruh proses pembelajaran melulu bertujuan demi pencapaian kompetensi ekonomis. Standarisasi kurikulum, sertifikasi kelulusan, sertfikasi guru, kenaikan angka akademik, dan kriteria evaluasi pendidikan diletakkan dalam kerangka kompetensi ekonomis. Pembelajaran siswa didik yang semula menjadi aktivitas kolektif berubah menjadi aktivitas individual. Sosok pendidik dalam diri guru menghilang dan digantikan dengan sosok guru sebagai tukang instruksi di kelas.
Dengan demikian, kini sudah saatnya pendidikan yang kita selenggarakan bisa membimbing siswa dan masyarakat manusia pada umumnya dengan cara-cara yang manusiawi, bukan dengan cara kekerasan, intimidasi, penghinaan dan pembunuhan karakter siswa. Pendidikan harus memperlakukan manusia dengan cara-cara kemanusiaan agar dia bisa hidup sebagai manusia sejati.

C. PENDIDIKAN HUMANIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam persfektif Islam, paradigma pendidikan seharusnya mengacu pada dua dimensi, yakni dimensi ketuhanan theocentris (hablum minallah) dan dimensi kemanusiaan anthropocentris (hablum minannas). Keseimbangan dalam dua hubungan ini akan berdampak positip terhadap posisi manusia dalam memerankan tugas kemanusiaannya. Bila tidak seimbang maka ia akan mengakibatkan keruksakan dan kehinaan bagi manusia itu sendiri.
Allah Swt Berfirman :
ôMt/ÎŽàÑ ãNÍköŽn=tã èp©9Ïe%!$# tûøïr& $tB (#þqàÿÉ)èO žwÎ) 9@ö6pt¿2 z`ÏiB «!$# 9@ö6ymur z`ÏiB Ĩ$¨Y9$#
Artinya : Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (QS al-Imran : 112)


Proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat. Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya.
Dimensi theocentris (hablum min Allâh) dan anthropocentris (hablum min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Menurut Abdur Rahman Assegaf, dkk (Ditpertais, 2002), ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan.
Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan merenung. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.
Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia memerlukan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilahkan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
Faktor yang penting dalam pendidikan sedemikian itu ialah upaya memunculkan dan menumbuhkan tataran kesadaran dalam diri manusia, terutama pada anak didik yang sedang mengalami pertumbuhan dan pembentukan diri. Hal ini akan membawa anak didik mengenal, memahami dan mengakui secara realistis kenyataan dirinya yang multidimensional. Keadaan seperti itu akan tercapai bila ada iklim kebebasan bagi anak. Iklim kebebasan yang dimaksud ialah keadaan di mana anak didik dengan leluasa berkreasi dan menumbuhkembangkan segala potensi yang dimilikinya. Kebebasan ini bukan kebebasan yang seenaknya, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Dari uraian di atas tampak sekali nilai luhur pendidikan yaitu sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya. Dasar pendidikan adalah kasih sayang, cinta kasih yang tulus. Kalau guru dan orang tua sudah kehilangan kasih sayang kepada murid dan anaknya, maka saat itulah pendidikan mulai kehilangan jatidirinya, karena Pendidikan humanis sangat menghormati harkat dan martabat si anak, termasuk apa yang ada dalam diri si anak. Artinya memberi kemerdekaan kepada anak didik untuk mengembangkan diri secara penuh. Sementara itu pendidik hanya berperan untuk mendidik, menuntun dan memberikan suasana serta memfasilitasi dan memotivasi mereka supaya dapat berkembang sebagaimana mestinya.
Pendidikan pembebasan yang ditawarkan pendidikan humanistik adalah mencari sintesis dialektik atau keseimbangan antara pemberian kemerdekaan kepada anak untuk menentukan sendiri apa yang ia senangi (lebih tepat: ia diperhatikan) dan disiplin, binaan dan pengarahan yang sebenarnya juga diharapkan si anak.
Tujuan pendidikan diarahkan untuk menumbuhkembangkan anak didik menjadi manusia yang utuh (insan kamil), hal itu sebenarnya merupakan hak setiap manusia untuk mendapatkannya. Lewat pendidikan anak didik ditumbuhkembangkan daya kognitifnya, perasaan maupun potensi yang ada dalam dirinya. Jika anak didik telah dapat meningkatkan kualitas pribadi maka ia memiliki tanggung jawab sosial.
Pendidikan dalam Islam sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga pendidikan yang dijalankan harus mendudukan manusia dalam posisinya sebagai manusia seperti yang digambarkan Allah, yakni ahsana taqwim. Seperti dalam firman-Nya:

ô‰s)s9 $uZø)n=y{ z`»¡SM}$# þ’Îû Ç`¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu‘ Ÿ@xÿó™r& tû,Î#Ïÿ»y™ ÇÎÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ

Artinya: Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?

Ayat ini mengisyaratkan pesan pendidikan yang amat sangat berharga yakni untuk menjaga kontinuitas manusia dalam posisi ahsana taqwim maka pendidikan keimanan merupakan dasar dalam aktualisasi amal soleh untuk berbuat yang terbaik dalam menjalankan tugas kemanusiaan di muka bumi.


Pendidikan seharusnya mampu mengantarkan manusia pada untuk memahami siapa dirinya? Dari mana berasal? Akan pergi kemana? Dan apa yang perlu dibuat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas maka pendidikan harus diarahkan pada beberapa hal beriikut ini, yaitu :
1. Manusia yang menyadari ada kekuatan yang maha agung yang mengatur hidup manusia.
2. Manusia yang memahami dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai manusia
3. Manusia yang memahami dan memanfaatkan potensi dirinya
4. Manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia
5. Manusia yang menghargai manusia lain
6. Terimalah anak dengan segala kekurangan dan kelebihannya
7. Tumbuhkan rasa percaya diri dan semangat (memotivasi) anak
8. Jangan memaksakan kehendak, tanpa dipaksa indivvidu akan bergerak untuk memenuhi kebutuhannya
9. Ukuran keberhasilan tiap anak berbeda-beda
10. Berilah anak kebebasan yang disertai tanggungjawab serta kasih sayang (ajrih asih).
D. MODEL PEMBELAJARAN HUMANISTIK
Dari beberapa literatur pendidikan sebagaimana yang dikutip oleh Abdur Rahman Assegaf, dkk (Ditpertais, 2002), ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
1. Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.

2. Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.

3. Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.

4. Quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.

5. Quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).

6. The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).

Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

E. PENUTUP
Setiap anak manusia yang terlahir ke dunia ini adalah titipan Illahi yang sangat unik. Ia terlahir dengan membawa anugerah Tuhan yang berupa potensi sebagai bekal untuk melaksanakan tugas kehidupannya, yaitu : sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil ard) dan hamba Allah (’abdullah).
Pendidikan seharusnya dapat menggali potensi tersebut dan mengembangkannya sehingga seorang manusia menjadi dirinya untuk menghadapi berbagai problema kehidupan di alam ini.
Dengan demikian, setiap anak tidak boleh diperlakukan secara seragam. Sekolah hendaknya membantu siswa dalam proses menjadi dirinya sendiri, sehingga bisa mengantarkan manusia pada kebahagiaan hidup yang hakiki, yakni hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Insya Allah.


DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, Abd. Rachman, dkk, Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan, (penelitian), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp.
Boisard, Marcel A., 1980, Humanisme Dalam Islam, diterjemahkan oleh H.M. Rasyidi dari judul asli l’ Humaniseme de l’Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hegell, A & Newburn, T., 1996, “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative School Children”, dalam Pastoral Care, 14.
Hidayat, Wahyu, 2003. Pola Pengembangan Fitrah Beragama (Thesis), Kuala Lumpur : Universiti Malaya.
Kompas, 5/6/2007.
Mas’ud, Abdurrahman, 2003. Menuju Paradigma Islam Humanis. Gama media: Jogjakarta.
Media Indonesia, 26/04/07, Ujian nasional meninggalkan noda.
Metro TV , 2 Desember 2007, Editorial Pagi Media Indonesia
Miller, John & Seller, 1985. Curriculum Perspectives and Practice. Longman : New York.
Parkay, W. Forrest, 2006. Curriculum Planning : A Contemporary Approach. Anctil: New York.
Reks FM Radio, 12 April 2008. Bianglala pagi
Suwariyanto, Theodorus, 1998, The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
Tilaar, H.A.R., 2006, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung : Rosda Karya.







PENJELASAN ISTILAH

1. Transfer of knowledge adalah proses pemindahan pengetahuan
2. Humanisasi adalah merupakan proses pemanusiaan manusia dengan mengacu pada prinsif-prinsif kemanusiaan.
3. Dehumanisasi adalah lawan dari humanisasi yakni proses pemanusiaan yang dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsif-prinsif kemanusiaan.
4. Khalifatullah adalah wakil Allah. Istilah ini digunakan untuk mendudukan posisi manusia sebagai wakil Allah di muka bumi
5. Humanizing of the classroom adalah pengembangan belajar melalui pengkondisian kelas yang berkemanusiaan yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”.
6. Active learning adalah Belajar aktif yang merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik dalam proses belajar.
7. Quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar.
8. Quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral.
9. The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan.



RIWAYAT HIDUP


I. IDENTITAS PRIBADI

N a m a : Wahyu Hidayat, MA
Tempat/Tgl. Lahir : Garut, 04 Juni 1974
Alamat : Perum Citra Jaya Gordah No. A6 Tarogong Kidul Garut
HP : 081-322078607 E-Mail : wahyu1974@yahoo.com

II. PENDIDIKAN
Ø SD : SDN Babakan Pakenjeng Garut tamat 1987
Ø SLTP : SMPN 49 Kodya Bandung tamat 1990
Ø SLTA : MAN I Garut tamat 1993
Ø Pesantren Tarbiyah Islamiyyah Koropeak Garut 1990-1993
Ø S1 : IAIN SGD Bandung tamat 1997
Ø S2 : Universitas Malaya Malaysia tamat 2003
Ø S3 : Universitas Malaya Malaysia 2004 tidak tamat
Ø S3 : Universitas Islam Nusantara Bandung 2007 - skrg

VI. PENGALAMAN BEKERJA

Ø Guru Agama di Kuala Lumpur dari tahun 2000 – 2004
Ø Stap pengajar FAI UNIGA 2005 – sekarang
Ø Stap pengajar Fak. Tarbiyah UIN SGD Bandung dari tahun 2006 – sekarang
Ø Stap pengajar STAI Al-Musaddadiyah Garut dari 2006 – sekarang
Ø Stap pengajar STAI Siliwangi Garut dari 2005 - sekarang

VII. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Ketua Umum OSIS MAN I Garut tahun 1992
2. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) PAI UIN SGD Bandung tahun 1994
3. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 1994-1995
4. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kuala Lumpur Malaysia 2004.
5. ICMI ORDA Garut 2007-2012

VI. PENGHARGAAN/PRESTASI
Penerima Beasiswa SUPERSEMAR (S1)
Penerima Beasiswa ORBIT-ICMI (S1)
Penerima beasiswa VOT-F Kementrian Pendidikan Malaysia (S2).
Penerima beasiswa DITJEN Pendidikan Tinggi Islam DEPAG RI (S3)

Tidak ada komentar: