Jumat, 04 Juli 2008

PRAKSIS PENDIDIKAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUMANISME

PRAKSIS PENDIDIKAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUMANISME

Oleh : Asep Nurjaman

ABSTRAK

Studi ini menekankan pentingnya filsafat humanisme sebagai landasan dalam pembelajaran karena secara substansial terdapat aspek penting yang harus dijadikan landasan dalam melaksanakan fungsi pengajar yang humanis. Humanis erat kaitannya dengan bentuk dasar human dan humanis adalah orang yang menganut paham humanisme. Pengajar harus humanis yang memiliki kualitas kemanusiaan dalam bentuk lima aspek, aspek pertama, relasi sosial, tanggung jawab, intelek dan aktualisasi diri. Pendidikan nasional harus mengedepankan filsafat humanisme, serta menghidupkan kembali dan memberi semangat bantuan dalam praksis pendidikan agar menuju arah yang benar. Pada intinya adalah harus ada keterkaitan secara signifikan antara filsafat humanisme dengan pendidikan agar tujuan utama pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas kemanusiaan yang sejalan dengan potensi peserta didik.
Kata kunci : filsafat humanisme, praksis.

A. PENDAHULUAN

Mengamati dan melihat praksis pendidikan yang tengah dan terus berlangsung dalam konteks otonomi daerah belakangan ini menghadirkan kekhawatiran serius pada masa depan pendidikan kita, baik dalam skala global maupun nasional. Terjadi pergeseran yang amat mendasar dalam praktik pendidikan dan visi dari sistem pendidikan sentralisasi ke desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan –di satu pihak telah memberikan keleluasaan bagi pemegang kekuasaan di daerah-daerah, dan di pihak lain memunculkan persoalan baru yang tidak saja bernuansa edukasi tetapi juga politik, ekonomi, kultural dan filosofis. Bahkan, seperti tersirat dari gagasan Surakhmad (2004) dalam Musyawarah Nasional ISPI ke V di Balikpapan, pendidikan telah kehilangan landasan filosofisnya.
11
Daerah-daerah kabupaten yang semula hanya menjadi subordinasi pusat kini menjadi pusat kekuasaan baru yang otonom. Sayangnya, pergeseran itu sepertinya tidak disertai kesiapan mental dan moral yang memadai. Akibatnya, segi-segi pragmatis lebih mengedepan ketimbang ideologis. Kalkulasi bisnis lebih menonjol dibandingkan dengan sisi mulia dari pendidikan itu sendiri untuk meningkatkan kualitas manusia menuju kedewasaan. Demikianlah, pendidikan kita telah kehilangan ruh yang hakiki dan kini berjalan di atas rel yang salah menuju arah yang salah pula.
Akibatnya, sisi humanis terabaikan sehingga dehumanisasi menjadi sebuah proses evolutif yang tidak kita sadari kehadirannya. Eksploitasi ekonomi dari satu kelompok lain menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan kita.
Penggusuran sekolah untuk dijadikan pasar swalayan, atau sentra-sentra bisnis lain, misalnya, bisa berlangsung seiring gencarnya wacana tentang kurikulum berbasis kompetensi, manajemen berbasis sekolah, otonomi daerah, mahalnya biaya pendidikan yang jelas-jelas menciptakan ketidakadilan bagi kalangan masyarakat yang tidak mampu dapat berlangsung dengan mulus tanpa dipersoalkan secara serius oleh kalangan yang semestinya bertanggungjwab atas terjadinya fenomena itu.
Ini menandakan bahwa dunia pendidikan kita memang perlu kembali pada rel yang benar sehingga proses pelaksanaan pendidikan dan pengambilan keputusan oleh pemegang kebijakan tidak akan menyimpang dari amanat tujuan pendidikan nasional. Dalam kaitan inilah landasan filsafat humanisme dapat dihidupkan kembali dan diberi semangat baru untuk mengembalikan praksis pendidikan kita agar menuju arah yang benar.
Makalah ini sama sekali tidak berpretensi memberikan solusi pada masalah pendidikan kita yang demikian kompleks dan multidimensional. Jika dari tulisan singkat ini dapat menyibakkan tentang sisi humanisme dalam pendidikan kita dan memancing diskusi lebih mendalam tentang arah yang semestinya dituju dari system pendidikan kita, maka sebagian dari tujuan penulisan ini telah tercapai.

B. LANDASAN PRAKSIS PENDIDIKAN

12
Titik tolak praksis pendidikan bermula dari keyakinan, bahwa manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain. Dari sejak seorang bayi lahir pada hakikatnya ia memerlukan perlakuan dan bantuan orang lain. Tanpa bantuan ibu atau orang dewasa lain yang mengasuhnya, bayi itu tidak akan dapat memilki kecakapan hidup yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya kelak.
Dari perspektif filosofis, keyakinan itu mengisyaratkan adanya pusat perhatian yang utama: manusia (human) dengan segala potensi kemanusiaannya (humanities) yang masih memerlukan proses pendidikan. Dengan berlandaskan pada keyakinan seperti ini berarti bahwa pendidikan haruslah diupayakan untuk membimbing, membantu, atau memperbaiki tingkah laku manusia ke arah tingkah laku yang selaras dengan norma-norma yang berlaku secara umum. Dalam konteks general education, pendidikan diarahkan untuk membimbing manusia menjadi warga Negara yang baik. Karena itulah, praksis pendidikan berlandaskan humanisme, hendaknya ditujukan pada pembentukan tingkah laku peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik, menjadi makhluk sosial yang beretika.
Mendidik manusia menjadi warga Negara yang baik bukanlah pekerjaan mudah. Ia memerlukan pemahaman yang seksama pada hekekat kemanusiaan dan hakikat pendidikan. Dengan kata lain, kaitan antara filsafat humanisme dan pendidikan haruslah dipahami agar kegiatan pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan utama pendidikan, yakni meningkatkan kualitas kemanusiaan yang sejalan dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
Kaitan antara aliran filsafat humanisme dengan general education amat erat. Pengembangan konsep pendidikan umum banyak berlandaskan pada prinsif-prinsif humanisme. Dengan kata lain, aliran filsafat humanisme hingga saat sekarang ini masih dijadikan sebagai dasar pengembangan dalam konteks itu. Disamping itu, secara konseptual dan praktical, konsep-konsep yang diajukan Islam. Istilah Kaffah (QS 2 : 208) misalnya pada hakikatnya merupakan manusia utuh (integrated man / whole person) yang sering ditemukan dalam wacana pendidikan umum, namun dimaknai dalam perspektif Agama.
Encyclopedi of education (1971) Volume 7 (122-123) secara jelas menunjukkan landasan humanisme itu : pendidikan merupakan bagian dari program pendidikan yang diupayakan untuk mengembangkan keterampilan umum dan sikap yang diperlukan untuk fungsi individual yang efektif, baik selaku anggota keluarga maupun warga Negara. Pendekatan yang dipergunakan bertumpu pada pendekatan pengetahuan, penanaman disiplin mental dengan tidak mengabaikan perhatian pada perlunya pendekatan seni yang bebas. Konsep pendidikan nasional untuk menciptakan “manusia seutuhnya” pun dilandasi oleh wawasan humanisme.




C. SINOPSIS FILSAFAT HUMANISME

Filsafat humanisme dapat dikatakan sebagai paham filsafat yang mendasarkan wawasannya pada aspek-aspek perikemanusiaan. “Humanisme erat kaitannya dengan bentuk dasar humane, yang bermakna ‘perikemanusiaan’. Sedangkan humanist dapat dijelaskan sebagai orang yang menganut paham humanisme.
Merujuk pada American Humanist Association (1968) yang berwawasan naturalisme humanistic, humanisme merupakan cara hidup berdasarkan kemampuan-kemampuan manusia, sumber-sumber alam, dan masyarakat. Seorang humanis memandang manusia sebagai produk dari ala mini dan tidak mengakui akal kosmos (jagad besar), tujuan, dan kekuatan supernatural. Humanisme mencerminkan suatu sikap dan keyakinan yang menuntut penerimaan tanggung jawab bagi kehidupan manusia di dunia ini dengan mementingkan sikap saling menghormati dan mengakui kesalingtergantungan antar manusia.
Berbeda dengan aliran materialisme mekanik yang secara ketat mendasarkan wawasannya pada determinisme yang cenderung menganggap segala sesuatu tunduk kepada hukum-hukum ilmu pengetahuan fisika, aliran naturalisme humanistic menekankan pada pengkajian secara khusus pada kepentingan dan aspirasi manusia dalam konteks lingkungan sosialnya.
Istilah humanisme pertama kali diterapkan pada teori tentang kebenaran oleh Schiler (Keraf, 1987). William James, tokoh pragmatisme, menyebut filsafat yang diketengahkannya sebagai filsafat humanisme. James berpendapat bahwa semua kebenaran merupakan produk manusia. Dengan demikian, kebenaran merupakan “persesuaian” antara ide dengan realitas.
Faktor manusia amat menentukan dalam verifikasi suatu ide. Relitas tidak pernah ada dengan sendirinya. Ide yang berhasil mengarahkan kita pada realitas sebenarnya yang dianggap benar. Oleh karena itulah, realitas harus dipahami dalam kaitan dengan tujuan kita yang manusiawi. Manusia bertanggung jawab pada realitas dan dunianya.
Menurut para penganut humanisme, dunia yang kita diami ini belumlah selesai, dalam arti masih terbuka kemungkinan campur tangan manusia untuk memaknai, mengatur, dan mengolahnya. Manusia itu sendiri adalah makhluk yang belum selesai. Ia masih perlu di didik untuk mengembangkan kualitas kemanusiannya.
Di dalam humanisme, seperti dikemukakan Stevick (1991: 23-4) terdapat lima aspek penekanan yang menunjukkan kualitas insani yang membedakannya dari binatang. Yang pertama, perasaan (feelings) meliputi segenap emosi pribadi maupun apresiasi estetis. Aspek ini cenderung menolak segala sesuatu yang merusak maupun yang menghambat penikmatan estetis.
14
Yang kedua, relasi sosial (social relations) merupakan satu sisi humanisme yang mendorong ke arah jalinan kerjasama, perkerabatan serta menentang kecenderungan yang mereduksi tergalangnya jalinan sosial tersebut.
Yang ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) merupakan aspek humanisme yang menyepakati perlunya control dari masyarakat, kritik dan koreksi serta mengutuk siapa saja yang mengingkarinya.
Aspek keempat, intelek (intellect), melibatkan pengetahuan, pemikiran dan pemahaman. Aspek ini membongkar segala sesuatu yang mempengaruhinya dengan membiasakan berlatih membebaskan pikiran, serta menyelidiki segala sesuatu yang tidak diuji secara intelektual.
Aspek kelima, aktualisasi diri (self-actualization) merupakanpenelusuran kesadaran dari kualitas kesejatian diri yang paling dalam. Aspek ini meyakini bahwa konformitas menggiring ke arah perbudakan, karena itulah pengejaran keunikan membawa ke arah pembebasan.
Kelima aspek ini pada hakikatnya bersifat terintegrasi dan saling bertumpang tindih satu sama lain. Jika kelima aspek humanisme di atas dikombinasikan, maka dapatlah dikatakan bahwa pencapaian citarasa keindahan dan perwujudan motif-motif altruistic (HI dan H2) bisa mengundang masalah. Setiap penghampiran terhadap pertanggungjawaban(H3) meletakkan landasannya pada pengetahuan, pemikiran dan analisis logis (H4).
Penghampiran semacam ini hanya mengandalkan intuisi sebagai sumber hipotesis yang hendak diuji, dan di atas semua itu: pengutamaan untuk melatih pertimbangan yang logis sehingga menghindari setiap sumber pengetahuan religius atau sebaliknya, yang tidak tersedia pada diri setiap orang. Pengejaran keunikan (H5) barangkali bias mengiringi maupun tidak pada setiap unsur humanisme yang lainnya.

D. PENGAJAR YANG HUMANIS

Dalam berbagai pengertian tentang pendidikan umumnya dikemukakan bahwa pendidikan itu berfungsi menyiapkan pembelajar untuk mencapai kehidupan yang memuaskan, baik sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, sebagai seorang pekerja, maupun sebagai seorang warga Negara.
Dalam konteks itu dapat dikatakan bahwa setidaknya terdapat lima fungsi pengajar humanis yang pokok, yakni (1) fungsi kogfnitif (the cognitive function), (2) fungsi pengelolaan kelas (the classroom management function), (3) fungsi penentu tujuan-tujuan praktis (practical goals), (4) fungsi pribadi maupun antar pribadi (the personal or interpersonal function), dan (5) fungsi penebar keramahan dan antusiasme (the warmith and anthusiasm function).
Fungsi yang pertama mensyaratkan pemilikan pengetahuan tentang isi pendidikan yang sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan, baik yang berorientasi pada siswa maupun isi pelajaran. Fungsi ini merupakan implikasi langsung dari salah satu aspek humanisme, khususnya aspek intelektual. Setiap pengajar harus memiliki pengetahuan ini, sehingga dapat memberikannya kepada siswa.
Berkenaan dengan fungsi kedua, para siswa dan masyarakat senantiasa mengharapkan tanggung jawab dalam pemanfaatan waktu di dalam kelas. Para siswa menyandarkan diri pada pelatihan dan pengalaman para pengajar serta rencana pelajaran, bahan-bahan, dan juga teknik pengajaran dalam penyampaian materi pelajaran.
Fungsi ketiga berkaitan dengan tujuan-tujuan yang telah dimiliki oleh para siswa dan masyarakat. Sang pengajar diharapkan mampu memberikan petunjuk praksis dalam pedoman pengajarannya. Tujuan pendidikan umum, merujuk pada Phenix (1964: 8) adalah “development of whole person”; pengembangan manusia seutuhnya. Secara khusus, manusia seutuhnya yang dimaksudkan oleh Phenix adalah manusia yang memiliki kompetensi dasar yang bisa dikembangkan, yang mencakup enam bidang makna : simbolik, empirik, estetik, sinotik, etik dan sinoptik.
Sebagai pengajar yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang diharapkan oleh siswa, sang pengajar diharapkan mampu menggalang ataupun menata irama belajar di dalam kelas yang sesuai dengan kebutuhan pribadi maupun antarpribadi peserta belajarnya. Suasana yang tercipta amat menentukan terpenuhi atau tidak kebutuhan dan ikatan emosional di dalam kelas. Penciptaan suasana yang kondusif bagi keleluasaan jalinan antarpribadi merupakan fungsi keempat.
Fungsi yang terakhir masih bertalian erat dengan fungsi keempat, yakni fungsi pribadi dan atau antarpribadi. Fungsi ini bertujuan menciptakan kehangatan, keramahan, dan antusiasme yang bermanfaat untuk memberikan kebebasan kepada siswa mengembangkan kemampuan kemanusiaannya. Fungsi kelima ini, seperti dinyatakan oleh Nunan (1991: 235) adalah yang terpenting dari semuanya.
Pengajar yang humanis tentunya harus menghayati dan menerapkan pendekatan humanistik (humanistic approach) untuk mengajarkan isi pendidikan sesuai dengan potensi dasar siswa. Istilah humanistic approach kadangkala dipergunakan bagi ide-ide yang mendasari metode yang dipergunakan. Adapun karakteristik yang penting dikembangkan menurut pendekatan ini adalah : (1) pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, (2) penumbuhan kesadaran diri dalam pemahaman terhadap orang lain, (3) kepekaan perasaan dan emosi yang manusiawi, dan (4) keterlibatan siswa secara aktif dalam pengajaran dan dalam cara belajar yang amat diutamakan.
Dalam pandangan Islam, secara kodrati kedudukan guru sama seperti kedudukan orang tua mendidik anaknya. Berdasarkan keutamaan ilmu, guru ditempatkan setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. Sedangkan berdasarkan syarat-syarat yang harus dimilikinya, guru harus ahli dan berkepribadian muslim.
Syarat-syarat kepribadian guru dalam pandangan Islam telah banyak dikemukakan cendekiawan muslim. Al-Ghazali (Zainudi, 1999 : 61) menyebutkan bahwa guru memiliki tugas yang sangat mulia. Tugas mulia ini dimanipestasikannya dalam memberikan kasih sayang terhadap anak didik dan menjadi teladan dalam segala tindakannya. Ia mengemukakan 11 syarat yang harus dipenuhi guru sebagai pendidik, antara lain : sabar, sopan, tidak takabur dan menampilkan hujjah yang benar. Pandangan serupa dikemukakan Zakiah Darajat (1980 : 44) yang merumuskan syarat-syarat guru ke dalam 17 muatan, antara lain : demokratis, penyayang, sabar, memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermacam-macam.

E. MATERI DAN METODE PENGAJARAN BERWAWASAN FILSAFAT HUMANISME

Materi pengajaran yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan konsep pendidikan umum berwawasan humanisme mencakup semua hasil karya kreatif manusia dalam bidang seni, sastra dan filsafat (Faust, 1952). Secara konseptual, materi ini dapat diajarkan melalui tiga cara yang berbeda. Pertama, karya kreatif itu, misalnya novel, puisi atau drama, diperlakukan sebagai suatu peristiwa . Kedua, karya kreatif itu tidak dipandang sebagai suatu peristiwa, melainkan sebagai symbol. Ketiga, karya kreatif itu dipandang sebagai suatu konsepdi karya seni yang memiliki struktur artistik, obyek khusus yang unik, produk dari daya kreatif dan imajinatif manusia, yakni daya untuk membentuk karakter, tindakan dan peristiwa yang tidak terdapat dalam realitas yang konkret (Faust, 1952: 104-105).
Dalam pandangan Islam, materi pengajaran yang dipergunakan untuk mengembangkan konsep pendidikan umum adalah dengan cara integrasi materi pelajaran. Argumentasinya adalah bahwa manusia merupakan bagian dari makrokosmos yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Manusia harus mempu menjalin hubungan harmonis dengan sesama, lingkungan dan Tuhan. Disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia merupakan sarana untuk memahami ketiga wilayah lingkungan tersebut dalam rangka ibadah.
Metode yang dapat dipergunakan dapat ditentukan atas dasar dua faktor, yakni (1) konsepsi tujuan pendidikan yang berlandaskan humanisme serta konsepsi dari sifat humanitas dan (2) lingkungan pendidikan formalnya. Pada dasarnya, metode pengajaran yang lebih mendayagunakan kemampuan kreatif manusia dapat dipilih dan diterapkan dalam kegiatan pendidikan yang berwawasan humanisme.

F. LINGKUNGAN SEBAGAI PERSEMAIAN POTENSI MANUSIA

Pembentukan tingkah laku dan kualitas manusia ke arah yang semakin meningkat dan lebih baik merupakan sentral perhatian pendidikan. Meskipun penekanannya pada faktor manusia, faktor lingkungan juga tidak dapat diabaikan.
Sebelum abad sembilan belas telah dianut anggapan bahwa lingkungan semata-mata adalah ruang lingkup yang pasif yang sedikit sekali pengaruhnya pada pembentukan tingkah laku manusia dan seluruh makhluk yang terdapat di alam ini. Lingkungan hanya dianggap sebagai tempat dari organisme yang hidup untuk berkembang biak dan mati. Kesadaran akan pentingnya faktor lingkungan dalam pembentukan tingkah laku manusia baru muncul belakangan setelah munculnya teori seleksi alam sekitar seabad yang lalu.
Manusia tidak berada di luar lingkungannya. Tindak pendidikan berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu. Dipandang dari sudut pandang pendidikan, yang pada hakikatnya membina, membimbing, bilamana perlu mengubah tingkah laku manusia, peranan lingkungan amatlah pentingnya. Setidaknya ada tiga alasan mengapa lingkungan perlu diperhitungkan dalam praksis pendidikan. Pertama, pendekatan lingkungan mengakui tingkah laku manusia sebagai subjek tersendiri yang tidak hanya merupakan gejala mental. Kedua, diantara unsur-unsur keadaan mental manusia yang diharapkan, terdapat ranah yang sudah ditentukan, misalnya manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, berbudi pekerti luhur, berkepribadian dan memiliki semangat kebangsaan. Ketiga menangani persoalan lingkungan yang mempengaruhi tingkah laku manusia relative lebih memungkinkan ketimbang menangani keadaan mental yang abstrak, yang mempengaruhi tingkah laku.
Dalam perkembangannya sekarang, seperti yang diketengahkan oleh DePorter (1992 : 2) dalam Quantum Learning, lingkungan menjadi amat menentukan keberhasilan siswa. Penciptaan lingkungan belajar yang menyenangkan dimulai dengan memanfaatkan lingkungan fisik, tanaman-tanaman yang menyegarkan, seni, dan musik ruangan belajar ditata sedemikian rupa sehingga menyenangkan bagi siswa dan guru. Selain itu, lingkungan emosional juga dibangun dengan memanfaatkan para pengajar yang dapat menciptakan suasana akrab dengan para siswanya. Dengan lingkungan kondusif, terbukti bahwa daya kemanusiaan siswa dapat dikembangkan secara lebih manusiawi dan menyenangkan, yang memberikan hasil yang lebih baik daripada lingkungan belajar yang penuh dengan tekanan.
Demikianlah, faktor lingkungan perlu dipertimbangkan dalam pengembangan potensi manusia. Praksis pendidikan sudah semestinya memperhitungkan pula faktor lingkungan ini mengingat fungsinya sebagai lahan subur untuk menumbuhkan segenap potensi manusia.

G. PENUTUP

Di dalam humanisme terdapat lima aspek penekanan yang menunjukkan kualitas manusia yang membedakannya dari binatang. Penekanan pada aspek perasaan, relasi sosial, tanggung jawab, intelek dan aktualisasi diri merupakan dimensi kemanusiaan yang amat diperhatikan dalam humanisme. Kelima aspek ini, merupakan kebutuhan potensi manusia yang amat ditonjolkan dalam humanisme sehingga cenderung mengabaikan dimensi lain yang turut memberikan warna pada praksis kehidupan, misalnya dimensi ruang dan dimensi waktu.
Penonjolan pada aspek kemanusiaan dengan demikian bukannya tanpa resiko. Akibat yang terutama adalah pemujaan yang berlebihan pada potensi alamiah dan daya pikir ilmiah yang serba sistematis, terkontrol dan bisa diverifikasi. Dengan demikian, sains modern yang hanya mengandalkan rasionalitas dan empirisme seakan-akan menjadi tumpuan harapan dalam pengungkapan segala fenomena yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Tentunya, pemutlakan pada dimensi manusia dengan segenap potensi kemanusiaannya itu tidak sepenuhnya berterima. Manusia adalah makhluk multidimensi yang harus dipandang dalam perspektif multidimensi juga.
Dalam pendidikan yang bernafaskan humanisme, karakteristik kemanusiaan yang penting untuk dikembangkan adalah: (1) pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, (2) penumbuhan kesadaran diri dalam pemahaman terhadap orang lain, (3) kepekaan perasaan dan emosi yang manusiawi, dan (4) keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pengajaran dan efisien dalam cara belajarnya amat diutamakan. Karakteristik kemanusiaan yang penting untuk dikembangkan adalah: (1) pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, (2) penumbuhan kesadaran diri dalam pemahaman terhadap orang lain, (3) kepekaan perasaan dan emosi yang manusiawi, dan (4) keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pengajaran dan efisien dalam cara belajarnya amat diutamakan. Karakteristik kemanusiaan tersebut secara prinsifil sesuai dengan pandangan Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Abdullah, A.S. 1990. Teori-teori pendidikan berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta : Rineka Cipta.
DePorter, Bobby. 1992. Quantum Learning. New york Dell Publishing
Faust, Clarence H. 1952. « Humanisme in General Education » dalam Nelson B. Henry, Fifty-first yearbook of the National Society for the Study of Education. Chicago-Illionis : The University of Chicago Press.
Henry, Nelson B. 1952. Fifty-first Yearbook of the National Society for the Study of Education. Chicago-Illinois : The University of Chicago Press.
Keraf, S. Pragmatisme Menurut William James. Yogyakarta : Kanisisus.
Mc.Connel, T.R. 1952, »General Education : An Analysis » dalam Nelson B. Henry, Fifty-first Yearbook of the National Society for the Study of Education. Chicago-illionis : The University of Chicago Press.
Phenix, Philip H 1964. Realms of Meaning. A Philosophy of the Curriculum for General Education. New York McGraw-Hill Company.
Stevick, Earl W. 1991. Humanism. Oxford : Oxford University Press.
Surakhmad, Winarno. (2004). Filosofi Pendidikan : Menemukan Kembali Landasan Yang Hilang. Balikpapan, Musda ISPI.
Titus, Harold H et. Al. (1979). Living Issues in Philosophy of Sciences. California : Wadsworth Publishing Company.



CURRICULUM VITAE

Nama : ASEP NURJAMAN
Alamat : Jl. Bungbulang-garut, Kp Sodong RT 01 RW 10 Desa Panyindangan Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut.
Pendidikan Terakhir : Magister (S-2) Program Studi Pendidikan Umum Konsentrasi Filsafat P{endidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Contact Person : HP 081321787722

Pengalaman Pekerjaan :
1. Guru Mts Al-Ashdariyah Pakenjeng tahun 1999 s.d. 2001
2. Guru MA. Antassalam Pakenjeng tahun 1997 s.d. sekarang
3. Kepala Sekolah MA. Antassalam Pakenjeng tahun 2006 s.d. sekarang
4. Dosen FAI UNIGA tahun 2000 s.d. sekarang
5. Ditugaskan sebagai Pemantau Pelaksanaan Pendidikan Keterampilan oleh Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI di Kabupaten Bogor tahun 2001
6. Ditugaskan sebagai Pemantau Pelaksanaan Pendidikan Keterampilan oleh Direktorat Pendidikan Lanjuytan Pertama Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI di Kabupaten Karawang tahun 2003
7. Koordinator Fasilitator Kacamatan (FK) Kab. Garut pada Program PKPS BBM-IP Departemen Pekerjaan Umum tahun 2005

Tidak ada komentar: