Jumat, 04 Juli 2008

PENDEKATAN PROBLEM SOLVING U MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA SD/MI DALAM MATEMATIKA DIKAITKAN TAHAPAN PERKEMBENGAN INTELEKTUALNYA

Pendekatan Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SD/MI dalam Matematika Dikaitkan dengan Tahapan Perkembangan Intelektualnya

Oleh : Asep Kurnia

Abstrak

Penggunaan suatu pendekatan pembelajaran di kelas sangat mempengaruhi kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran inovatif yang secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika adalah pendekatan problem solving. Hanya dalam pelaksanaannya di kelas, tetap harus berpedoman kepada tahap perkembangan intelektual siswa, dengan harapan tidak terjadi kegagalan. Selanjutnya dengan penggunaan pendekatan ini diharapkan terciptanya individu-individu generasi penerus, pembela agama dan bangsa yang handal, kreatif dan tangguh.


A. Pendahuluan

21
Matematika sebagai salah satu cabang disiplin ilmu pengetahuan memegang peranan penting dalam melatih dan mengembangkan pola berpikir manusia, matematika merupakan pembimbing pola berpikir maupun sebagai pembentuk sikap. Mengingat pentingnya matematika bagi manusia, maka matematika perlu dipahami dan dikuasai oleh kita. Hal ini bertujuan agar pola pikir dan sikap kita, terutama di dalam kehidupan bermasyarakat dapat lebih teratur, sistematis dan efisien. Apalagi jika kita mengkaji dan mendalami kebesaran ayat-ayat Allah SWT. Kita telah di beri oleh Allah SWT kelengkapan, berupa khalqiyah (fisik dan daya karya) dan aqliyah (akal dan daya cipta) seperti di sebutkan dalam Al-Qur’an Surat At-Tin (95 : 4) yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Maka sebagai rasa syukur kita kepada-Nya, sudah sepatutnya apa yang ada pada diri kita ini diolah dan dikembangkan sehingga mencapai optimal guna kepentingan agama dan bangsa.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, Ruseffendi (2006, h. 94) mengemukakan, “Matematika penting sebagai pembimbing pola berpikir maupun sebagai pembentuk sikap. Oleh sebab itu salah satu tugas guru adalah mendorong siswa agar dapat belajar matematika dengan baik”. Namun pada kenyataannya hasil belajar siswa dalam matematika masih rendah, hal ini terlihat dari tingkat keberhasilan yang dicapai siswa setelah mengikuti serangkaian kegiatan belajar mengajar yang masih kurang memuaskan. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara tetangga Singapura bahkan secara Internasional masih sangat rendah. Seperti dapat dilihat pada tabel berikut tentang hasil pekerjaan siswa SD dalam matematika untuk satu soal dari studi TIMSS 1999 :
Soal :
n is a number. when n is multiplied by 7, and 6 is then added, the result is 41. which of these equations represents this relation ?
A. 7n + 6 = 41
B. 7n – 6 = 41
C. 7n x 6 = 41
D. 7(n + 6) = 41
hasil jawabannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1
Hasil Pekerjaan Siswa
Negara
Rata-rata Prosentase Siswa yang Menjawab Benar
Singapura
89%
Internasional
65%
Indonesia
37%
Sumber : TIMSS 1999
22
Dari data di atas jelas bahwa tingkat keberhasilan belajar siswa dalam matematika masih sangat rendah. Hal ini bisa saja disebabkan oleh kesalahan guru dalam melakukan proses pembelajaran. Salah satu kemungkinan tersebut adalah guru tidak utuh, kurang tepat bahkan tidak seluruhnya dalam mentransfer ilmu kepada siswa, baik dari segi pendekatan pembelajaran, metode, maupun materi ajarnya. Padahal Allah SWT berfirman (Q.S. Al-Baqarah ; 2 : 31) yang artinya, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,…”. Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa jika mengajarkan sesuatu ilmu kepada orang lain maka jangan asal-asalan, tetapi sebaliknya harus bersungguh-sungguh, utuh dan seluruhnya. Apalagi jika kita seorang pendidik sudah sepantasnyalah berbuat hal yang sama.
Mata pelajaran matematika yang diajarkan oleh guru di SD/MI diharapkan tidak hanya diterima begitu saja oleh siswa, akan tetapi harus dapat dipahami. Salah satu bentuk pembelajaran yang sesuai dengan harapan tersebut adalah dengan cara mengutamakan keaktifan siswa. Seorang filsuf Yunani mengatakan : jika mendengar maka akan lupa, jika melihat maka akan mengetahui, dan jika melakukan maka akan memahami. Sehingga jika siswa aktif melakukan pembelajaran, maka diharapkan akan lebih paham tentang materi yang diajarkan.
Banyak bentuk pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Pemilihan pendekatan yang tepat selain dapat mengatur siswa di dalam kelas, juga dapat memberikan motivasi serta dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya secara optimal. Dengan demikian siswa tidak hanya menyerap informasi dari guru, akan tetapi dapat berperan aktif mengembangkan pengetahuannya secara mandiri dengan bimbingan dan arahan guru.

B. Pendekatan Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika
23
Banyak bentuk pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, salah satu diantaranya adalah bentuk pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Pendekatan problem solving dalam pembelajaran matematika menurut Taplin (1996) adalah “…a problem solving approach to teaching mathematics. The focus is on teaching mathematical topics through problem solving contexts and enquiry oriented environments which are characterized by the teacher…”. Jadi pendekatan ini pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran matematika melalui konsep pemecahan masalah dan berorientasi pada metode penemuan serta mempunyai ciri antara lain: guru membantu siswa untuk mengkontruksi pemahamannya tentang matematika. Guru melakukan pembelajarannya di kelas melalui apa yang disebut dengan “doing math” yang mencakup ; menciptakan, menduga-duga (trial & error), menyelidiki, menguji, dan membuktikan.
Pendekatan problem solving memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa dan guru dengan siswa
2. Terjadinya dialog matematika dan konsensus antar siswa
3. Guru hanya memberikan informasi tentang permasalahan dan siswa melakukan klarifikasi, interpretasi, dan berusaha mengkonstruksi proses penyelesaian
4. Guru menerima benar/salahnya jawaban siswa dalam cara non-evaluatif
5. Guru membimbing, melatih, memberikan stimulus dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mendiskusikan proses pemecahan masalah dengan siswa
6. Guru harus tahu kapan mengintervensi siswa dan kapan tidak, dan biarkan dulu siswa mencoba-coba dulu jawabannya
7. Dapat mendorong siswa membuat generalisasi tentang aturan dan konsep matematika
Dengan melihat karakteristik tersebut pendekatan problem solving mempunyai sifat yang variatif, baik bagi siswa maupun bagi gurunya. Secara umum pendekatan problem solving memberikan peranan sebagai berikut :
1. Dapat membangun aspek-aspek matematika
2. Dapat memberikan motivasi yang lebih besar kepada siswa karena dapat menggali kemampuan berpikir siswa
3. Dapat menciptakan suatu konteks pembelajaran yang dapat disimulasikan ke bentuk real life sehingga tidak berbentuk klasikal
4. Dapat meningkatkan kemampuan dan kreatifitas siswa dalam matematika
5. Dapat membantu manusia menyelesaikan dan survive dalam kehidupannya
6. Dapat melatih berpikir kritis
7. Dapat melatih logika menalar siswa
24
Seiring siswa berkembang, pendekatan problem solving dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran matematika karena siswa secara umum tampak lebih mampu untuk mengorganisasikan pikiran mereka. Bahkan bisa lebih dari satu variabel yang mereka pikirkan.

C. Tahapan Perkembangan Intelektual Siswa SD/MI Dikaitkan dengan Kemampuan Memahami Matematika

Banyak para ahli mengemukakan tahap perkembangan peserta didik, dimana setiap tahapan diharapkan menjadi tolak ukur guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Sehingga dengan berpedoman pada perkembangan peserta didik tersebut diharapkan akan diperoleh hasil yang lebih baik. Diantara para ahli tersebut adalah Piaget, Bruner, Dienes.
1. Jean Piaget dengan Teori Perkembangan Mentalnya
Perkataan “mental” menurut Piaget adalah kemampuan intelektual atau kognitif. Teorinya disebut teori belajar sebab berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar. Menurut teorinya perkembangan kognitif manusia tumbuh secara kronologis melalui empat tahap yang berurutan.
Empat tahap teori perkembangan kognitif tersebut beserta konsep-konsep matematika yang dapat dipahami individu dapat kita lihat sebagai berikut :
1. Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun) mempunyai ciri utama : individu hanya baru bisa belajar mengaitkan simbul benda dengan benda konkritnya, mulai melakukan perbuatan coba-coba berkenalan dengan benda-benda konkrit, disusunnya, diutak-atik dan lain-lain. Pada tahap ini belum ada pemahaman konsep dalam matematika.
2. Tahap preoperasi (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun) mempunyai ciri utama : individu mulai menganggap bahwa benda konkrit memiliki karakter yang sama dengan aslinya sehingga memungkinkan memberikan perlakuan seperti mengajak bicara, mengasih makan, minum dan menidurkannya. Akan tetapi belum memiliki konsep menalar. Pada tahap ini terbagi dua tahap berpikir matematika yaitu :
a. tahap berpikir prekonseptual (umur 2-4 tahun) : belum ada pemahaman konsep matematika.
b.
25
tahap berpikir intuitif (umur 4-7 tahun) : geometri, kekekalan bilangan, himpunan.
3. Tahap operasi konkrit (umur sekitar 7 tahun sampai sekitar 11-12 tahun) ; mempunyai ciri utama : sifat egoisme individu mulai berkurang, individu sudah mulai memiliki pengetahuan konsep penalaran konkrit. Pada tahap ini individu sudah memahami konsep perbandingan, waktu, perkalian, sifat komutatif dan asosiatif.
4. Tahap operasi formal (umur dari sekitar 11 tahun sampai dewasa) ; mempunyai ciri utama : sudah tidak memerlukan lagi perantaraan operasi konkrit untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal, sudah dapat merumuskan teori, menggeneralisasi teori, sudah dapat berpikir deduktif dan induktif. Pada tahap ini individu sudah dapat melakukan pengukuran isi, berpikir logika secara formal, sistem aksiomatik/deduktif.

2. Jerome S. Bruner dengan Metode Penemuannya
Bruner membagi dunia anak ke dalam tiga bagian, yaitu :
1. Enactive
2. Iconic
3. Symbolic
Tahap enactive secara umum berupa gerak, namun dikaitkan dengan benda-benda konkrit. Pada tahap ini untuk memahami konsep matematika, setiap individu selalu dituntun dengan benda konkrit. Misalnya untuk memahami konsep bilangan, individu dituntun dengan menggunakan jari tangan atau lidi.
Tahap iconic menggambarkan ciri individu yang sudah lebih jauh tidak sekedar gerak tetapi sudah masuk ke bentuk persepsi statik. Pada tahap ini individu sudah mulai dapat menggunakan nalar, berupa persepsi tentang benda konkrit, baik lambang maupun sifatnya. Dalam hal ini individu sudah dapat berpikir semi abstrak. Misalnya pada konsep bilangan, individu sudah dapat menggambarkan lambang angka untuk satu buah lidi, dua buah lidi dan seterusnya.
26
Tahap symbolic pada dasarnya menggambarkan individu yang sudah dapat berpikir formal, abstrak dan bersifat aksiomatik. Pada tahap ini konsep matematika yang abstrak dan memerlukan penalaran logis sudah dapat dilakukan dengan relatif baik. Misalnya pada konsep bilangan, individu sudah dapat melakukan operasi aljabar bilangan dalam bentuk simbol-simbol, tanpa dibantu benda konkrit.
Bruner selain memberikan penjelasan tentang tahapan perkembangan individu seperti diatas, juga memberikan dalil-dalil perkembangan individu dikaitkan dengan pembelajaran matematika, yaitu :
1. Dalil Penyusunan
2. Dalil Notasi
3. Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman
4. Dalil Pengaitan
Dalil penyusunan menjelaskan kepada kita bahwa bagi anak untuk belajar konsep matematika dapat dilakukan dengan melakukan penyusunan representasinya. Misalnya : untuk memahami konsep penjumlahan 2 + 3 = 5, siswa melakukan sendiri langkah kerja secara berurutan, seperti melakukan pergeseran 2 kotak dan 3 kotak pada garis bilangan.
Dalil notasi menjelaskan kepada kita bahwa ketika memberikan konsep matematika kepada siswa, maka konsep tersebut harus disajikan dengan menggunakan notasi yang sesuai dengan perkembangan siswa.
Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman menjelaskan kepada kita bahwa untuk mengubah representasi konkrit ke abstrak suatu konsep matematika diperlukan adanya kegiatan pengkontrasan dan keanekaragaman. Maksudnya ialah agar konsep itu dapat lebih bermakna bagi siswa haruslah dikontraskan dengan konsep lain dan disajikan dalam beraneka ragam contoh.
Sedangkan dalil pengaitan menjelaskan kepada kita bahwa satu konsep dalam matematika selalu berkaitan dengan konsep yang lain, konsep sebelumnya dan konsep yang akan datang. Oleh karena itu agar keberhasilan siswa dalam belajar matematika lebih baik, maka haruslah diberikan lebih banyak kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan tersebut.
Dari dalil-dalil tersebut maka bruner terkenal dengan metode penemuannya yaitu siswa harus dapat menemukan sendiri konsep matematika dalam pembelajarannya.

3. Zoltan P. Dienes mengenai Pengajaran Matematika
27
Pengajaran matematika dari Dienes lebih mengutamakan kepada pengertian dan pemahaman sehingga matematika itu lebih mudah dipelajari dan lebih menarik. Menurut pengamatan dan pengalamannya terdapat anak-anak yang menyukai matematika hanya pada permulaannya saja ketika matematika masih dalam bentuk yang sederhana. Makin tinggi sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya maka makin banyak siswa yang berkurang minatnya. Bahkan banyak anak yang masih tidak paham tentang konsep yang sederhana, banyak konsep yang dipahami secara keliru. Sehingga matematika dianggap ilmu yang sukar, ruwet dan membingungkan.
Yang dimaksud dengan konsep menurut Dienes adalah struktur matematika yang terdiri dari tiga macam yaitu : konsep murni, konsep notasi dan konsep terapan. Agar siswa dapat memahami konsep itu maka harus diajarkan dengan urutan berikut : konsep murni dulu, dilanjutkan dengan konsep notasi dan diakhiri dengan konsep terapan. Konsep murni berkenaan dengan mengelompokkan bilangan dan hubungan antar bilangan tanpa memepertimbangkan bagaimana bilangan itu disajikan. Misal angka sepuluh, dapat ditulis 10, X dan sebagainya. Konsep notasi adalah sifat-sifat bilangan sebagai akibat dari bilangan itu disajikan. Misal penulisan dengan bilangan dasar 2, maka dapat diolah dengan komputer dan sebagainya. Konsep terapan adalah aplikasi konsep murni dan konsep notasi dalam pemecahan soal-soal matematika dan bidang studi lainnya.
Menurut Dienes, konsep matematika dapat dipahami dengan baik bila representasinya dimulai dengan benda konkrit yang beranekaragam. Karena menurutnya jika hal ini diterapkan oleh guru untuk setiap konsep yang diajarkan, maka akan menyempurnakan penghayatan siswa terhadap konsep itu. Ada beberapa alasan yang menurut Dienes mendukung cara ini, antara lain :
1. Dengan melihat berbagai contoh siswa akan memperoleh penghayatan yang lebih benar.
2. Dengan banyaknya contoh itu maka siswa akan lebih banyak dapat menerapkan konsep itu ke dalam situasi yang lain.
Dienes berpendapat ada 6 tahap dalam belajar dan mengajarkan konsep matematika, yaitu :
1. Bermain bebas 4. Representasi
2. Permainan 5. Penyimbulan
3. Penelaahan sifat bersama 6. Pemformalan
28
Secara umum, pendapat ini sejalan dengan pendapat Piaget tentang tahap perkembangan mental manusia. Dengan memperhatikan beberapa pendapat para ahli tentang bagaimana sebaiknya memberikan pembelajaran berdasarkan tahap-tahap perkembangannya, maka memberikan implikasi bahwa alangkah baiknya jika para guru matematika khususnya, dapat mengajar dan mendidik siswanya sesuai dengan tahapan perkembangan dan kematangannya agar diperoleh hasil yang lebih baik.

D. Pendekatan Problem Solving pada Pembelajaran Matematika SD/MI Dikaitkan dengan Tahap Perkembangan Intelektual Siswa
Sangatlah penting guru membangun keahlian problem solving dalam diri siswa SD/MI, baik mereka itu individu yang berada pada tahap operasional konkrit ataupun formal. Para guru harus membangun berdasarkan pada kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh para siswa. Guru harus mengenali ketidakmampuan mereka dalam mengorganisasikan, mensistematisasikan dan mendapatkan penyelesaian secara efisien terutama saat dilibatkan beberapa variabel atau hubungan. Sehingga tidak terjadi kesalahan yang fatal baik bagi siswa maupun bagi guru yang mengajarkannya
Perkembangan siswa SD/MI secara garis besar dimulai dari usia 6/7 tahun sampai dengan usia 12/13 tahun. Menurut Piaget pada usia ini, siswa SD/MI berada pada tahap operasional konkrit dan mungkin sebagian berada pada tahap formal. Sehingga ketika guru mengajarkan matematika dengan pendekatan problem solving sebaiknya memperhatikan kondisi perkembangan tersebut. Hal ini sejalan dengan teori Bruner yang mengatakan bahwa usia SD/MI berada pada tahap enactive, iconic dan sebagian sudah ke tahap symbolic. Yang artinya proses pembelajaran yang dilakukan masih harus dibantu oleh benda-benda konkrit. Hanya sebagian saja yang mungkin sudah dapat berpikir formal/abstrak sehingga tidak perlu lagi menggunakan benda konkrit.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas penggunaan pendekatan problem solving dalam pembelajaran matematika untuk siswa SD/MI sangatlah beraneka ragam, tergantung pada tahapan/tingkat perkembangan siswa dan materi ajar. Maksudnya bahwa untuk tahapan siswa tertentu dan atau materi ajar tertentu, bentuk pendekatan problem solving-nya berbeda. Misalkan pendekatan problem solving untuk siswa SD/MI kelas III akan berbeda dengan kelas IV, demikian juga dengan materi ajarnya.
29
Sebagai contoh kita lihat pada proses pembelajaran berikut :
Contoh 1 :
Materi : Geometri
Pokok Bahasan : Keliling dan Luas Persegipanjang
Kelas : III
Waktu : 1 x 40 menit
Hasil belajar : Menentukan Keliling dan Luas Bangun Datar
Indikator : Menemukan cara menghitung keliling dan luas persegipanjang, serta menggunakannya dalam problem solving
Media/alat : Tali/benang, alat ukur panjang (meteran), sudut siku-siku
Pengalaman belajar :
(1) Prasyarat siswa telah terampil dalam penjumlahan atau pengurangan, perkalian atau pembagian, menggunakan alat pengukur meteran dan sudut, dan mengenal rumus keliling dan luas persegi panjang dan segitiga.
(2) Guru menyiapkan bentuk-bentuk geometri di halaman kelas, seperti berikut ini dengan menggunakan media tali/benang.
E


I A B
II F

D C G
III

J I

(3)
30
Siswa ditugaskan untuk mengukur keliling dan luas bangun sesuai dengan tugasnya, kelompok I mengukur bangun I (segiempat ABCD), kelompok II mengukur bangun II (segilima BEFGC), dan kelompok III mengukur bangun III (segiempat DGIJ).
(4) Guru membimbing siswa dalam menggunakan meteran dan sudut siku-siku, bimbingan tersebut antara lain :
Kelompok I : pastikan bahwa bangun tersebut persegi panjang dengan mengukur sudut-sudutnya menggunakan sudut siku-siku. Jika sudah siku-siku, ukurlah panjang AB dan panjang AD, masukan ke dalam rumus keliling dan rumus luas persegipanjang
Kelompok II : bentangkan lagi tali dari BG dan BF, sehingga didapat tiga daerah segitiga (BFE, BFG an BCG), buat garis tinggi dari ketiga segitiga tersebut dengan menggunakan tali dan sudut siku-siku, sehingga didapat gambar seperti di bawah ini :
E

B K L F


C G

Lakukan pengukuran untuk keliling, adalah panjang BE + EF + FG + GC + BC
Lakukan pengukuran panjang alas dan panjang tinggi segitiga. Gunakan rumus mencari luas segitiga
Kelompok III : petunjuk hampir sama dengan kelompok II.
(5) Siswa mempresentasikan hasil tugasnya dihadapan kelompok lain secara bergantian
(6) Guru memberikan penguatan dan saran-saran yang diperlukan

Contoh 2 :
Materi : Bilangan sampai dengan 500
Pokok Bahasan : Operasi Hitung Bilangan
31
Kelas : II
Waktu : 1 x 40 menit
Hasil belajar : Melakukan penjumlahan dan atau pengurangan bilangan
Indikator : Memecahkan soal cerita yang mengandung penjumlahan dan pengurangan
Media/alat : Karet gelang dalam ikatan limapuluhan, sepuluhan dan satuan
Pengalaman belajar :
(1) Guru mengadakan apersepsi keterampilan siswa dalam menjumlah dan mengurang suatu bilangan paling besar 500
(2) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok (misal 5 kelompok), setiap kelompok diberi sejumlah karet gelang yang telah diikat dalam limapuluhan, misalnya sebagai berikut :
a. kelompok A mendapat 150 karet gelang (3 ikat)
b. kelompok B mendapat 200 karet gelang (4 ikat)
c. kelompok C mendapat 250 karet gelang (5 ikat)
d. kelompok D mendapat 300 karet gelang (6 ikat)
e. kelompok E mendapat 350 karet gelang (7 ikat)
(3) Seterusnya karet gelang setiap kelompok ditambah lagi dengan jumlah sebarang, sehingga jumlahnya berubah, menjadi sebagai berikut :
a. kelompok A menjadi 260 karet gelang
b. kelompok B menjadi 375 karet gelang
c. kelompok C menjadi 455 karet gelang
d. kelompok D menjadi 463 karet gelang
e. kelompok E menjadi 489 karet gelang
(4) Siswa mendiskusikan berapa karet gelang yang ditambahkan pada pemberian yang kedua
(5) Siswa menuliskan kalimat matematika sesuai dengan tugasnya masing-masing
(6) Salah seorang wakil kelompok (secara bergiliran) melaporkan hasil diskusi (presentasi kelompok)
(7) Kelompok yang lain dan guru menanggapinya serta guru memberikan penguatan terhadap hasil kerja siswa
Selanjutnya untuk mengevaluasi proses pembelajaran setelah satu pokok bahasan selesai, siswa di beri soal ulangan yang berbentuk problem solving yaitu soal tidak rutin. Soal tidak rutin adalah soal yang tidak langsung dapat dijawab secara prosedural. Soal problem solving terbagi ke dalam 3 bentuk yaitu :
1.
33

32
Bentuk soal problem solving reproduksi (sederhana)
2. Bentuk soal problem solving koneksi (medium/sedang)
3. Bentuk soal problem solving analisis (sukar)
Adapun untuk menyelesaikan soal-soal problem solving dapat menggunakan tahapan Polya, yang meliputi :
1. memahami permasalahan
2. menyusun strategi penyelesaian
3. melaksanakan rencana penyelesaian
4. mengecek kembali hasil penyelesaian
Sebagai contoh dapat kita lihat pada soal berikut :
Aku ingin membuat arena bermain untuk kelinci-kelinciku. Arena yang aku buat harus seluas mungkin. Di gudang terdapat segulung pagar kawat yang akan aku gunakan untuk membatasi arena bermain kelinciku ; panjangnya 36 meter. Berapakah hendaknya panjang dan lebar arena bermain kelinci tersebut ?

Penyelesaian
1. anak-anak harus memahami permasalahan yaitu kawat yang ada di gudang akan dibuat pagar dan harus menghasilkan arena bermain bagi kelinci seluas-luasnya. Hal ini berhubungan dengan keliling, luas, panjang dan lebar.
2. anak-anak harus dapat menyusun strategi penyelesaian, mungkin dengan menduga-duga, mencoba-coba (trial & error), menyusun tabel, dan sebagainya
3. kemudian melaksanakan rencana penyelesaian, misalkan dengan menggunakan tabel. Tabel tersebut dapat kita lihat sebagai berikut :

Tabel 2
Trial & Error Jawaban Siswa
Keliling
Panjang
Lebar
Luas
36
36
36
36
36
36
36
36
36
36
17
16
15
14
33
13
12
11
10
9
8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
17
32
45
56
33
65
72
77
80
81
80

Setelah anak-anak membuat tabel, diskusikan tabel itu bersama mereka. Di sini guru menanyakan kepada siswa “kenapa luas yang dihasilkan mulai meningkat ? pada titik manakah luas itu mulai menurun ? dan anak-anak seharusnya menemukan bahwa luas yang terbesar dihasilkan ketika panjang dan lebarnya sama. Anak-anak hendaknya mengetahui dan membuat generalisasi bahwa sebuah persegi lebih luas dari persegipanjang yang memiliki keliling sama dengan persegi itu.
4. mengecek kembali hasil penyelesaian, jika benar sudah selesai, jika salah diulangi lagi dari awal.
Dari contoh pembelajaran dan soal problem solving di atas diharapkan anak-anak dapat menemukan pengetahuan baru, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam matematika.

E. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SD/MI melalui Pendekatan Problem Solving
Setiap guru pasti menghendaki hasil yang optimal dari proses pembelajarannya. Salah satu tolok ukur dari keberhasilan tersebut adalah siswa dapat berpikir matematik secara baik, apalagi jika sampai pada tahap berpikir tingkat tinggi. Terdapat empat bagian besar berpikir tingkat tinggi dalam matematik yaitu : kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi dan kemampuan komunikasi.
34
Pendekatan pembelajaran matematika yang sudah mencakup keempat bagian tersebut adalah pendekatan problem solving. Sehingga dapat saja pendekatan ini dipilih oleh guru dalam proses pembelajaran matematika di kelas karena secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dalam matematika.
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat tujuan pendekatan problem solving dalam pembelajaran matematika untuk siswa SD/MI pada masing-masing bagian sebagai berikut :
1. Kemampuan pemecahan masalah ;
Pendekatan problem solving bertujuan agar siswa dapat :
a. mengidentifikasi/menginvestigasi dan memahami serta memaknai isi matematika
b. merumuskan permasalahan ke model matematika
c. membangun pemahaman konsep dan mengaplikasikannya untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan matematika
d. memverifikasi dan menginterpretasikan hasil penyelesaian soal
e. mempunyai kepercayaan diri untuk memahami, memaknai dan menyelesaikan persoalan matematika
2. Kemampuan penalaran ;
Pendekatan problem solving bertujuan agar siswa dapat :
a. menuliskan kesimpulan yang logis dan sistematis tentang matematika
b. menggunakan model, mengetahui fakta, sifat dan hubungan antar variabel sesuai dengan pikirannya
c. menilai proses jawabannya, apakah sudah benar atau belum
d. menggunakan pola-pola dan hubungan antar pola tersebut untuk menganalisis situasi kematematikaan
e. yakin bahwa matematika itu masuk akal
3. Kemampuan koneksi ;
Pendekatan problem solving bertujuan agar siswa dapat :
a. menghubungkan konsep dengan pengetahuan prosedural
b. menghubungkan representasi konsep atau prosedur antara yang satu dengan yang lain
c. mengetahui hubungan antara topik-topik yang berbeda dalam matematika
d. menggunakan pengetahuan kematematikaannya pada bidang yang lain
e. menggunakan pengetahuan kematematikaannya dalam kehidupan sehari-hari
4. Kemampuan komunikasi ;
Pendekatan problem solving bertujuan agar siswa dapat :
a.
35
menghubungkan gambar, diagram dan materi fisik ke bentuk ide/model matematika
b. bercermin dan mengklarifikasi ide-ide dan situasi pemikiran matematikanya
c. menggunakan bahasa sehari-harinya ke dalam bahasa dan simbol matematik
d. menyadari bahwa merepresentasikan, diskusi, membaca, menulis dan mendengarkan adalah hal yang sangat penting untuk mempelajari dan menggunakan matematika.
Dengan melihat uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa pendekatan problem solving dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika. Sekarang tinggal bagaimana guru memanfaatkan terobosan dalam pembelajaran ini, tetapi dalam prakteknya harus selalu memperhatikan tahapan perkembangan intelektual siswa agar tidak menyebabkan kegagalan.

F. Penutup
Penggunaan suatu bentuk pendekatan pembelajaran di kelas sangat berpengaruh terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika. Pendekatan problem solving sebagai salah satu bentuk pendekatan pembelajaran matematika yang inovatif, amatlah layak jika dijadikan salah satu alternatif bagi guru untuk melaksanakan pembelajarannya, mengingat pendekatan ini secara langsung dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika tersebut. Akan tetapi dalam pelaksanaanya di kelas, tetap harus berpedoman kepada tahap perkembangan intelektual siswa agar tidak terjadi suatu kegagalan.
Pada dasarnya segala potensi dan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD/MI dalam matematika (kemampuan memecahkan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi dan kemampuan komunikasi) dapat ditingkatkan secara optimal, hanya bagaimana cara guru memilih, meracik, mengolah dan mengembangkan bentuk-bentuk pendekatan yang ada sehingga betul-betul dapat memberikan bukti yang nyata bagi kita. Dengan harapan diperoleh individu-individu generasi penerus, pembela agama dan bangsa yang handal, kreatif dan tangguh.

36

23
DAFTAR PUSTAKA

Adjie, N. dan Maulana. (2006). Pemecahan Masalah Matematika. Bandung : UPI Press

Jones, T. (2000). Instructional Approaches to Teaching Problem Solving in Mathematics : Integrating Theories of Learning and Technology. Final Paper, EDUC6100

Nurihsan, J. (2007). Perkembangan Peserta Didik.(Modul) Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI Bandung

Reys, R. E. dkk (1998). Helping Children Learn Mathematics. Fifth Edition. USA : Allyn & Bacon

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito

Taplin, M. (2006). Mathematics through Problem Solving. Hongkong : Institute of Sathya Sai Education Hong Kong

TIMSS 1999

Wahyudin. (2007). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI Bandung










37

RIWAYAT PENULIS

Nama Lengkap : Asep Kurnia, S.Pd., M.Pd.
Tempat Tgl Lahir : Garut, 07 Juli 1975
Alamat : Kp. Sentral No. 323 RT 03 RW 03 Ds.
Mangkurayat Kec. Cilawu Kab. Garut
Tlp. : 236821 – 081322773677 – 08987719135

Pendidikan :
1. SDN Nagrak 1 Garut 1982 – 1988
2. SMPN 2 Garut 1988 – 1991
3. SMAN 1 Tarogong Kidul Garut 1991 – 1994
4. Pendidikan Matematika UPI Bandung 1994 – 2000
5. Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana (S2) UPI Bandung 2001 – 2004

Pengalaman Organisasi :
1. OSIS SMPN 2 Garut
2. OSIS SMAN 1 Tarogong Kidul Garut
3. Pengurus HIMA Pendidikan Matematika UPI Bandung

Jabatan :
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Garut

Tidak ada komentar: